Blog yang membahas tentang macam-macam artikel, makalah dan artikel unik dan lain-lain, Pendidikan, Kesehatan, Spikologi, Metode Pembelajaran, Kesenian, Dunia Islam dan menyajikan seluruh jenis artikel

PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI MESIR

PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI MESIR - Hallo sahabat Kumpulan Artikel dan Makalah, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI MESIR, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel MAKALAH PENDIDIKAN, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI MESIR
link : PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI MESIR

Baca juga


PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI MESIR

A.    Pendahuluan
Mesir, sebagai pusat pemerintahan dinasti Fatimiyah yang didirikan pada tanggal 17 Sya’ban 358 H/969 M oleh Jawhar al-Siqili[1] digambarkan oleh para sejarawan sebagai salah satu pusat peradaban Islam. Bentuk kota ini hampir merupakan segi empat. Di sekelilingnya dibangun pagar tembok besar dan tinggi, yang sampai sekarang masih ditemui peninggalannya.

Dalam beberapa pembahasan mengenai Islam periode pertengahan, dijumpai keterangan bahwa mesir pernah dikuasai oleh dinasti Fatimiyah, dinasti Ayyubiyah dan dinastik Mamalik. Ketiga dinasti ini masing-masing memiliki kecenderungan sendiri dalam menjalankan roda pemerintahannya, baik dari segi administrasi, politik, maupun teologi atau faham keagamaannya. Perbedaan tersebut tentu saja mempengaruhi produk kebuayaan dan peradabannya, termasuk aspek ri dalam menjalankan roda pemerintahannya, baik dari segi administrasi, politik, maupun teologi atau faham keagamaannya. Perbedaan tersebut tentu saja mempengaruhi produk kebuayaan dan peradabannya, termasuk aspek pendidikannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kajian mengenai Mesir pada abad pertengahan sungguh sangat luas cakupan pembahasannya. Untuk itu, tulisan ini membatasi kajiannya pada saat Mesir di bawah kekuasaan dinasti Fatimiyah. Selanjutnya, tulisan ini akan difokuskan lagi pada aspek pendidikan dan lembaga-lembaga intelektual masa dinasti Fatimiyah di Mesir. Dengan demikian tulisan ini berangkat dari dua permasalahan, bagaimana pelaksanaan pendidikan di Mesir pada masa dinasti Fatimiyah?  Dan lembaga-lembaga intelektual apa saja yang diselenggarakan oleh dinasti Fatimiyah di Mesir?. Untuk menjawab kedua permasalahan ini, pembahasan akan diawalindengan mengungkap sejarah dan perkembangan dinasti Fatimiyah.

B.     dinasti Fatimiyah: Sejarah dan Perkembangan
kekuasaan dinasti Abbasiyah di Bagdad menjelang akhir abad ke-10 M dicatat mulai melemah, daerah kekuasaannya yang luaspun tak mampu dikoordinasikan lagi. Akibatnya, terbukalah peluang bagi sejumlah kelompok yang selama ini merasa tertindas, seperti Syaih, khawarij dan kaum Mawali untuk melakukan kegiatan politik.[2]Kelompok Syi’ah Ismailiyah misalnya, memanfaatkan peluang ini untuk mengkonsolidasikan gerakannya, dan pada tahun 909 M, Abdullah b. Maymun memproklamirkan berdirinya khilafah Fatimiyah yang terlepas dari kekuasaan Abbasiyah. Gerakan Maymun ini mula-mula tidak menampakkan yang jelas hingga muncullah Abu Abdullah al-Husayn yang secara aktif dan terang-terangan melancarkan dakwah Fatimiyah.
Dinasti ini disebut dinasti Fatimiyah, karena ia mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali b. Abi Thalib dan Fatimah b. Rasul Allah swt. Menurut mereka, Abu Abdullah al-Husayn al-Mahdi, pendiri dinasti inimerupakan cucu Ismail b. Ja’far al-Shadiq. Sememnatar Isma’il dikenal sebagai Imam Syiah yang ketujuh. Namun musuh-musuh dinasti fatimiyah, seperti kelompok pendukung Abbasiyah, kelompok yang berafiliasi ke dinasti Umayyah di Andalusia, kelompok Khawarij dan Bar-bar menolak bahwa asal-usul mereka dar Ali b. Abi Thalib.
Dinasti ini berkuasa di Afrika utara dan Mesir selama 262 tahun, yaitu sejak tahun 297-567 H/909- 1171 M. dari keempat belas khalifah yang pernah memimpin dinasti Fatimiyah ini berdasarkan fungsi dan peran yang dimainkan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga fase: pertama, fase koordinasi dan ekspansi (297-341 H/909-953 M), kedua, fase kejayaan (341-411 H/953-1021 M), dan ketiga fase kemunduran (411-567 H/1021-1171 M).
Pada fase konsolidasi dan ekspansi, ketiga khalifah pertama –Ubaidillah, al-Qa’im dan al-Mansur melakukan konsolidasi terus menerus sambil merintis ekspansi wilayah kekuasaan. Al-Mahdi di awal kepemimpinannya berhasil menumpas Abu Abdullah al-Husayn yang bermaksud merebut jabatan khalifah, dan berekspansi ke seluruh Afrika yang terbentang dari perbatasan Mesir sampai dengan wilayah Fes di Maroko. Lima tahun kemudian, ia telah berhasil menduduki Alexandria, Malta, Syria, Sardinia dan Corsica. Pada tahun 920 M, ia mendirikan kota baru di pantai Tunisia dan menjadikannya sebagai ibukota Fatimiyah. Sementara al-Qa’im memulai tugasnya dengan mengirim dua pasukan, masing-masing ke Perancis dan Mesir. Di Perancis, pasukannya berhasil menduduki Genoa dan seluruh wilayah sepanjang pantai Calabria. Sementara di Mesir, pasukannya dikalahkan oleh dinasti Ikhsidiyah, sehingga mereka terusir dari Alexandria.  Sedangkam khalifah ketiga, al-Masur berhasil menghancurkan kekuatan Abu Yazid yang sebelumnya mengalahkan pasukan ayahnya. Dengan kemenangan ini, al-Mansur telah menduduki seluruh wilayah Afrika sebagai kekuasaannya. Bahkan ia berhasil membangun sebuah kota yang sangat megah di wilayah perbatasan Susa’ yang dinamakan kota al-Mansuriyah.[3]
Sementara fase kejayaan, berlangsung selama 68 tahun. Di masa khalifah al-Mu’izz  dinasti Fatimiyah, melalui panglima perang ahmad b. Hasan, berhasil menduduki wilayah Sicilia, dan melalui panglima perang Jawhar berhasil menduduki Mesir, pada tahun 969 dengan tanpa perlawanan yang berarti. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan dinasti Ikhsidiyah di Mesir, dan Mesir memasuki era baru di bawah pemerintahan Fatimiyah. Kota Mesir ini, pada athun 973 M kemudian diputuskan sebagai ibukota dinasti Fatimiyah. Setelah pindah di ibukota yang baru ini, selanjutnya, ia mendirikan Universitas Kedokteran di kota Palermo, Sicilia, mendirikan Masjid al-Azhar di Mesir, yang belakangan dijadikan sebagai akademi al-Azhar, dan membenahi sistem pemerintahan , dengan membagi wilayah propinsi menjadi sejumlah wilayah distrik dan mempercayakannya kepada pejabat yang cakap.
Al-Aziz, mengukuhkan kedudukan dinasti Fatimiyah sebagai imperium yang cukup berwibawa dan disegani. Di bawah kepemimpinannya, luas kekeuasaan dinasti Fatimiyah membentang dari wilayah Eufrat sampai dengan Atlantik. Dari segi ini, dinasti Fatimiyah telah mengungguli kebesaran Abbasiyah di Baghdadyang sedang dalam kemundurannya di bawah kekuasaan Buwaihiyah. Prestasi lainnya, ia mendirikan golden Palace, the Pearl Pavilion dan masjid Karafa di kota Kairo. Dia pula yang menjadikan masjid al-azhar sebagai akademi. Kebijakannya yang kontraversial antara lain, ia mengangkat pejabat penting dari non muslim seperti Isa b. Nastur dan Manasah, memberi penghormatan kepada pendeta Ibrahim di kalangan istana, bahkan memberinya izin mendirikan gereja di luar Fustat. Sedangkan pada masa al-Hakim, beberapa kebijakan kontraversial ayahnya sedikit demi sedikit diperkecil. Misalnya, ia menghancurkan seluruh gereja Kristen di Mesir dan menyita tanah dan harta kekeyaan mereka. Lebih jauh ia memaksa umat Kristen memilih tiga alternatif: menjadi muslim, atau meninggalkan tanah air, atau berkalung dengan salib raksasa sebagai simbol kehancuran mereka. Karya monumental al-Hakim adalah berupa mesjid, perguruan, observatorium dan gedung Dar al-Hikmah yang dilengkapi dengan perpustakaannya.[4]
Sedang fase kemunduran berlangsung selama 150 tahun. Pada fase ini terjadi beberapa keadaan yang menyebabkan dinasti Fatimiyah lambat laun menjadi lemah. Diantaranya adalah munculnya pemimpin boneka, terjadi kekalahan dalam peperangan, terjadi musibah dan bencana kelaparan dan terjadi konflik internal.[5]Munculnya pemimpin boneka dilatarbelakangi oleh usia para khalifah pengganti yang masih muda belia, seperti al-Zahir ketika menggantikan ayahnya –al-Hakim- ia berusia 16 tahun, sehingga pusat kekuasaan dipegang oleh bibinya yang bernama Sitt al-Mulk. Al-Mustansir ketika menjadi khalifah berusia 7 tahun, sehingga pusat kekuasaan dipegang ibunya. Al-Zafir berusia 17 tahun sehingga tampuk pemerintahan dikendalikan oleh Abu al-Hasan b. al-Salar.
Akibat logis dari keadaan ini, para khalifah umumnya tak mampu menghadapi musuh-musuh yang menyerangnya. Diantaranya pemberontakan al-Bassasiri, serangan raja Yerussalem dan permusuhan antara militer Negro dengan militer Turki, sehingga pada tahun 1068 M militer Turki dengan panglima Nasir berhasil menduduki kota Kairo. Keadaan ini diperparah dengan musibah dan bencana kelaparan serta konflik internal, seperti perebutan jabatan antara Nizar dan adiknya, putra al-Muntasir, yang dimenangkan al-Musta’li dan al-Amir dengan kemenakannya, yang dimenangkan kemenakannya, al-Hafiz. Dalam keadaan seperti ini datanglah Salahuddin al-Ayyubi, pejuang dalam perang salib. Tak lama kemudian, pada tahun 1171 M, al-Azid, khalifah dinasti Fatimiyah terakhir diturunkan dari jabatannya oleh Salahuddin. Dengan demikian dinasti Fatimiyah ini berakhir.

C.    Pendidikan dan Pengajaran di Masa Dinasti Fatimiyah
Di muka telah disinggung bahwa dinasti Fatimiyah merupakan dinasti yang beridiologi Syi’ah, sementara ia berhadapan dengan masyarakat Mesir yang berfaham Sunni. Menghadapi persoalan ini dinasti Fatimiyah mencoba menggariskan program-program dan menyusun kekuatan untuk menghalau kekuatan mereka. Menurut Ahmad Syalabi, program dinasti Fatimiyah meliputi dua tahap. Tahap pertama adalah tahap pelaksanaan pengajaran dan pembentukan undang-undang atau peraturan, sedangkan tahap kedua adalah tahap dakwah secara rahasia.
Uraian berikut ini tidak akan mengkaji kedua tahap di atas, melainkan hanya akan mengkaji satu tahap saja, yaitu tahap pengajaran dan pendidikan yang akan difokuskan pada dua hal: pertama karakteristik ideologi dinasti Fatimiyah dan kedua usaha untuk mensosialisasikan ideologi tersebut.

1.      Karakteristik Ideologi Dinasti Fatimiyah
Menurut Bayard Dodge,[6]ada empat karakteristik ideologi dinasti Fatimiyah yang membedakan dengan ideologi Sunni. Keempat ideologi ini penting untuk disosialisasikan dan diajarkan oleh para khalifah kepada masyarakat Mesir.
Pertama, tentang al-Washy, yaitu kepercayaan bahwa setiap nabi mempunyai seorang washy, yaitu orang yang dipercayai sebagai wakilnya, setelah nabi itu wafat. Menurut mereka Allah sendirilah yang memilih washy itu untuk Nabi-Nya. Adapun Washyuntuk Nabi Muhammad adalah Ali b. Abi Thalib. Hal ini didasarkan pada sabda Rasul Allah di “Ghadir Khum”:
“Wahai kaum Muslimin, ketahuilah bahwa kedudukan Ali terhadapku adalah sama halnya dengan kedudukan Harun terhadap Musa, hanya saja sesudahku tak akan ada Nabi lainnya lagi. Ali inilah yang akan menjadi wali kamu sesudah wafatku. Maka siapa-siapa yang mengakui bahwa aku ini adalah pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya juga, dan barangsiapa yang mengakui bahwa aku adalah walinya, maka Ali ini adalah juga walinya dan amirnya”.
Kemudian Nabi mengankat tangannya tinggi-tinggi sehingga kelihatan ketiaknya yang putih, lalu beliau berdoa: Ya Allah, temanilah orang yang menemaninya dan musuhilah orang yang memusuhinya, tolonglah orang yang menolongnya dan tinggalkanlah orang yang meninggalkannya dan jadikanlah kebenaran itu selalu menyertainya.[7]
Sesudah Ali wafat, maka putenya yang bernama Hasan menggantikannya. Dengan demikian, al-Hasan merupakan orang pertama menjadi imam sesudah washy. Akan tetapi sesudah al-Hasan wafat, maka jabatan sebagai imam tersebut tidaklah berpindah kepada putera-puteranya, melainkan kepada saudaranya, yaitu al-Husayn, mengingat hubungannya yang khusus dengan Rasul Allah, Ali dan Fatimah. Sesudah al-Husayn wafat maka jabatan imam itu pindah kepada turunannya, yang demikian itu menurut mereka berdasarkan firman Allah: orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebahagiannya lebih berhak terhadap sesamanya daripada yang bukan kerabat.[8]
Ketaatan terhadap washy dan imam-imam sesudahnya haruslah merupakan yang mutlak tanpa ragu-ragu. Dalam hubungan ini, al-Nu’man meriwayatkan dari abu Ja’far Muhammad b. Ali bahwa ia pernah berkata mengenai firman Allah yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah, dan taat pulalah kepada Rasul, dan kepada ulil-amri daripada kamu.[9]yang dimaksud dengan taat kepada ulil amri ialah taat kepada para imam.
Kedua, tentang ishmah, yaitu kepercayaan bahwa para imam itu tidak mungkin berbuat dosa. Kepercayaan ini didasarkan kepada ishmah para nabi, dimana mereka tidak mungkin berbuat kesalahan-kesalahan, baik kesalahan kecil maupun kesalahan besar. Dasar-dasar kepercayaan ini mutlak bagi kaum Syi’ah, sebab andaikata Rasul itu tidak ma,sum dari kesalahan-kesalahan tentulah kepercayaan orang kepadanya akan berkurang, dan kalau demikian halnya tak ada faedahnya pengutusan Rasul tersebut. Mengingat bahwa Rasul itu ma’sum maka para imam juga ma’sum. Menurut mereka seandainya para imam tersebut dapat berbuat salah, niscaya ia tak akan dapat melaksanakan tugas-tugasnya sebagai pemimpin, sebab itu ia harus bersifat ma’sum, yaitu terhindar dari kesalahan-kesalahan. Dan dalil yang mereka gunakan untuk itu ialah firman Allah: “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, ya ahl al-Bayt, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.[10]
Lebih jauh, menurut mereka, para imam tersebut adalah pemelihara syara’ dan pelaksanaannya. Kebutuha terhadap imam adalah semata-mata bertujuan untuk melindungi orang-orang yang teraniaya.



[1]Ketika itu Jawhar al-Siqili menyebut Mesir dengan sebutan al-Qahirah, sebuah kota yang bermula dari kota Fustat, yang selanjutnya pada tahun 973 M atas perintah Khalifah al-Mu’iz dijadikan sebagai ibukota pemerintahan dinasti Fatimiyah. Lebih lanjut, lihat Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London: The Macmillan Press Ltd., 1974), h. 619.
[2]Kafrawi Ridwan, dkk., (ed.) “Dinasti Fatimiyah”, dalam Ensiklopedi Islam, Jilid 2, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993), h. 4-6.
[3]K. Ali, “A Study of Islamic History”, alih bahasa, Ghufran A. Mas’adi, Sejarah Islam: Tarikh Pramodern, (Jakarta: Srigunting, 1996), h. 326-328.
[4] K. Ali, Sejarah Islam, h. 333-334. Dan bandingkan dengan Bayard Dodge, al-Azhar: A Millenium of Muslim Learning, (Wahingthon D. C.: The Middle East Institute, 1961), h. 19-29.
[5] W. Montgomery Watt, “The Majesty that Was Islam”, alih bahasa, Hartono Hadikusumo, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1990), h. 253-254.
[6] Dodge, al-Azhar, h. 13-15, lihat juga Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, h. 404-421
[7] Syalabi, Sejarah …., h. 407.
[8] Q. S. al-Anfal: 76
[9] Q.S al-Nisa: 59
[10] Q. S. al-Ahzab: 33


Demikianlah Artikel PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI MESIR

Sekianlah artikel PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI MESIR kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI MESIR dengan alamat link http://macam2-artikel.blogspot.com/2015/12/perkembangan-peradaban-islam-di-mesir.html
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI MESIR

0 komentar:

Post a Comment