Blog yang membahas tentang macam-macam artikel, makalah dan artikel unik dan lain-lain, Pendidikan, Kesehatan, Spikologi, Metode Pembelajaran, Kesenian, Dunia Islam dan menyajikan seluruh jenis artikel

SYEKH YUSUF AL-MAKASSARI

SYEKH YUSUF AL-MAKASSARI - Hallo sahabat Kumpulan Artikel dan Makalah, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul SYEKH YUSUF AL-MAKASSARI, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel MAKALAH PENDIDIKAN, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : SYEKH YUSUF AL-MAKASSARI
link : SYEKH YUSUF AL-MAKASSARI

Baca juga


SYEKH YUSUF AL-MAKASSARI

BAB I

 PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh krisis keindonesiaan, karena nilai-nilai falsafah dan pandangan hidup kebangsaan mengalami krisis epistemologi. Hal ini terjadi bukan hanya karena faktor ambruknya tatanan ekonomi global, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang lemah di bidang sosial, ekonomi dan politik, tetapi juga secara internal, euforia reformasi yang kebablasan, telah menyebabkan krisis ini berubah menjadi kekuatan serius yang menjerumuskan sendi-sendi kehidupan yang paling utama, yaitu nilai-nilai moral.

Krisis yang terjadi di tengah-tengah iklim kebebasan ini, belum disadari sebagai hal yang harus segera diatasi. Tatanan dan pola kehidupan masih diwarnai oleh sikap dan perilaku yang menyimpang, dan telah menjadi fenomena yang banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, baik di kalangan atas maupun kalangan bawah. Berbagai macam sikap dan perilaku menyimpang tersebut, sering dijumpai dalam berbagai pemberitaan di media massa, bahkan selalu menghiasi atau menjadi catatan kaki pernyataan-pernyataan para pembesar, dari berbagai level.
Sikap dan perilaku yang menyimpang juga dapat dijumpai dalam kehidupan bernegara. Tata hukum dan tata negara sekarang, disinyalir cenderung mementingkan keunggulan kedaulatan penguasa daripada keunggulan kedaulatan rakyat, sehingga sistem demokrasi hanya dinikmati oleh para penguasa. Dalam konteks seperti ini, sikap dan perilaku seperti, korupsi, kolusi, nepotisme, pelanggaran hukum dan pelecehan-pelecehan kemanusiaan yang dilakukan oleh kalangan atas bahkan juga para penguasa, yang sudah diketahui oleh publik, dapat diamankan dengan mekanisme yang menimbulkan kejengkelan etis. Sementara itu, pada kalangan bawah (masyarakat biasa), kemunduran etika merupakan persoalan yang mendasar. Penempatan etika pada tingkat yang sangat rendah, menyebabkan sikap dan perilaku menyimpang dapat dengan mudah dilakukan tanpa beban.     
Landasan etika kehidupan bangsa Indonesia, boleh jadi telah memadai, yaitu tersedianya berbagai macam aturan dan perundang-undangan, ditambah lagi dengan etika yang telah digariskan oleh agama. Akan tetapi, kesemuanya itu seakan-akan semua dan hanya menjadi simbol-simbol yang disingkirkan dari arena kehidupan. Sikap dan perilaku yang tidak etis ini, menjadi ironis manakala dihubungkan dengan fakta bahwa bangsa Indonesia merupakan penganut agama Islam yang terbesar di dunia, sehingga seolah-olah realitas kehidupan masyarakatnya, merupakan representasi dari ajaran agama yang dianutnya.
Baik dan lengkapnya produk-produk hukum maupun peraturan yang telah disediakan, ternyata tidak menjamin akan menghasilkan harapan yang diinginkan. Bahkan, banyaknya aturan dan ajaran tentang etika tersebut di buat dan disosialisasikan melalui berbagai mekanisme dan cara, tidak mengurangi banyaknya pelanggaran etika yang terjadi. Begitu banyak seminar, pembekalan, kursus dalam kerangka melaksanakan aturan dan perundang-undangan, dan begitu banyak dakwah agama disampaikan kepada umat, dalam kerangka melaksanakan segala perintah atau ajaran etika, tetapi sikap dan perilaku menyimpang serta kualitas moral masyarakat, di rumah, di jalan, dan di tempat bekerja, tidak sesuai dengan yang diharapkan. Secara tekstual dan normatif, aturan dan perundang-undangan, serta agama yang di dalamnya terdapat ajaran tentang etika, menolak adanya sikap dan perilaku tidak etis. Oleh karena itu, aturan dan perundang-undangan serta agama juga memuat sanksi dan ancaman yang keras terhadap sikap dan perilaku tidak etis. Namun secara kontekstual, realitas kehidupan bangsa seakan-akan tidak menghargai anjuran-anjuran etika yang bertujuan baik itu.
Bangsa Indonesia sebenarnya telah merumuskan etika yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan manusia dalam falsafah negara yakni Pancasila. Pancasila sarat dengan nilai-nilai yang luhur dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai dalam Islam atau agama lain. Namun, akhir-akhir ini, nilai-nilai luhur Pancasila tersebut belum terpresentasikan dalam pola relasi manusia Indonesia. Etika di dalam filsafat Pancasila tidak sama dengan etika filsafat sekuler. Nilai-nilai Pancasila sarat dengan etika, dirumuskan berdasarkan nilai-nilai universal dari beberapa agama yang ada di Indonesia, sehingga permasalahan manusia tercakup dalam kelima sila tersebut (Lasiyo dan Yuwono, 1985: 16; Kaelan, 2007: 8-15).
Sistem demokrasi di era globalisasi telah menimbulkan perubahan yang begitu cepat, dan mempengaruhi nilai-nilai etika yang berlaku dalam masyarakat. Perubahan yang terjadi juga mempengaruhi perkembangan kebudayaan, yang seringkali membongkar etika yang dianut masyarakat, baik di lingkungan kecil maupun di lingkungan masyarakat yang lebih luas. Alam kebebasan yang dibungkus oleh sistem demokrasi, menurut filosof Yunani kuno Plato, tidak menjamin masa depan manusia yang beradab. Sistem demokrasi memberikan kebebasan berlebih kepada setiap orang untuk mengejar kepentingan sendiri-sendiri, sehingga kekacauan dan kekerasan dimungkinkan terjadi di mana-mana, negara pun berada di persimpangan (Kristy, 2007: 57). Standar kepantasan sosial turut berubah. Apa yang dahulu dianggap tidak pantas secara sosial, sekarang dapat dianggap pantas karena lebih banyak masyarakat yang menerimanya. Penerimaan masyarakat terhadap globalisasi dengan unsur modernisasinya sudah cenderung dianggap gaya hidup yang dianut sebagai suatu ukuran kemajuan (Hassan, 2001: 53-144). Masyarakat dunia dewasa ini sudah biasa dengan adanya ketidakadilan, ketidakpedulian etika sosial dan keagamaan, serta hukum dalam bermasyarakat, baik antar negara maupun di dalam negara. Masalah ini dinilai tidak mempunyai motivasi agama, tetapi lebih pada wilayah ekonomi, namun kemudian, justifikasi agama digunakan oleh sebagian kelompok untuk tindakan yang melanggar etika sosial dan keagamaan (Beuken et.al., 2003; 63-64, Rawls, 2006: 5).
Sikap dan perilaku saling mengancam yang dilakukan oleh negara-negara yang terlibat perang dan menjerumuskan sendi-sendi kehidupan, merupakan pelanggaran etika yang sudah sampai pada taraf akut, dari penghilangan nyawa orang tidak bersalah, perampasan hak-hak masyarakat baik moril maupun materil. Levianas (Riyanto, 2009: 6) menyatakan bahwa, kebangkrutan etika ditandai dengan pembantaian manusia yang tidak berdosa. Etika yang mengajarkan sebuah kesadaran tentang hidup bersama dengan orang lain, memandang kehadiran orang lain merupakan nilai-nilai yang tidak mungkin ditabrak, dan seharusnya manusia tunduk dengan nilai-nilai tersebut.
Hal penting lainnya adalah munculnya kekerasan atas nama agama yang oleh sebagian pendapat disebabkan oleh rasa keputusasaan dan kekalahan atas penindasan yang dilakukan oleh yang kuat. Secara umum, untuk mengatasinya baik negara ataupun kelompok masyarakat, harus melakukan perjuangan ideologis, kritis, konstruktif serta berlandaskan pada etika-etika keagamaan yang universal untuk menegakkan keadilan bagi masyarakat secara luas (Beuken, et.al., 2003: 71-72).
Kekerasan atas nama agama di Indonesia, dapat dijumpai dalam berbagai kasus, misalnya penyerbuan massa anti Ahmadiyah, gerakan Front Pembela Islam (FPI), pemboikotan aliran-aliran sempalan, aksi-aksi yang berkepanjangan untuk solidaritas Palestina, aksi-aksi anti Barat, Yahudi, Amerika atas dasar sikap dan kebijakan negara-negara tersebut, serta kasus kecurigaan antara kelompok-kelompok penganut agama. Seringnya simbol agama tampil dalam wajah demonstrasi massa yang brutal dan tanpa sasaran yang logis, menyebabkan posisi dan kedudukan agama dihubung-hubungkan dengan logika bahwa agama berada dibalik itu semua, dan karenanya agama menjadi sistem yang lumpuh, bahkan mungkin hampir-hampir mati secara kultural (the end of culture). Ironisnya, negara tampak tidak berdaya dan gagal dalam menghilangkan konflik-konflik kekerasan ini bahkan tidak jarang para pejabat yang berwenang justru mengeluarkan pernyataan yang seakan-akan menjadi justifikasi bagi sebagian aksi-aksi kekerasan tersebut (Azra, 2007: 6). Dalam konteks seperti ini, fungsi agama bukan merupakan elemen yang pasif dalam proses perubahan sosial. Seharusnya agama dapat memainkan peranan yang amat penting bagi konsolidasi sebuah struktur baru. Dalam sejarah politik, telah ditunjukkan betapa agama dapat menjadi elemen pemacu yang amat efektif untuk menggerakkan perubahan politik bahkan sebuah revolusi (Usman, 1989: 185).
Adanya kontradiksi antara ajaran yang baik dan benar di dalam agama dengan  realitas kehidupan masyarakat, akhirnya memunculkan pertanyaan yang berkaitan dengan sejarah, bagaimana agama dikembangkan pada masyarakat. Keberhasilan ajaran-ajaran agama untuk menegakkan etika, dalam sejarahnya, tidak dapat dipungkiri. Akan tetapi faktor-faktor kegagalannya juga perlu dicermati, terutama bila dihubungkan dengan kondisi dewasa ini. Banyak dugaan, mengapa agama di tengah-tengah krisis etika dewasa ini, belum memperlihatkan caranya untuk dapat mengatasi krisis tersebut. Yang terjadi justru banyaknya pertentangan yang disertai dengan klaim-klaim kebenaran (truth claims) dalam kelompok-kelompok agama sendiri, sehingga mencederai ajaran agama yang secara historis dikembangkan melalui misi etis.
Pemikiran dan ajaran-ajaran tentang etika dari berbagai sumber, boleh jadi dapat dianggap sebagai ajaran tasawuf yang mengandung kritik-kritik sosial, mengedepankan inspirasi, dan sekaligus sebagai sumber energi untuk melakukan perubahan. Oleh karena itu, tasawuf dapat dijadikan koreksi etis terhadap dakwah Islam dengan kendala-kendala yang cukup memprihatinkan bagi perkembangan Islam dan masyarakat Islam sendiri.
Di antara kendala-kendala tersebut (Kompas, 15 Desember 2008: 24) adalah sebagai berikut: pertama, secara umum Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis moralitas pribadi yang antara lain ditunjukkan dengan banyaknya organisasi dakwah dan individu yang sangat berorientasi pada kepentingan kelompok dan anggotanya, sehingga kadang-kadang tidak peduli dengan kepentingan umat Islam dan bangsa. Sikap ”keakuan” dan ”kekamian” sebagai kelompok dan golongan lebih dominan daripada ”keakuan” dan ”kekamian” sebagai sesama umat dan sesama bangsa. Kedua, di lingkungan atau kalangan umat Islam sendiri, dakwah sebagai aspek yang melekat dalam pengembangan serta pengamalan agama,  kurang memiliki citra yang kuat dalam mencontoh dan menerapkan nilai-nilai filosofis dakwah rasul. Bentuk dan ciri dakwah yang diperlihatkan di lingkungan Islam Indonesia cenderung apatis-skeptis, retoris, dan show of force. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir ini muncul bentuk-bentuk dakwah yang cenderung ”hitam-putih”, ”halal-haram”, ”surga-neraka”, ”Islam-kafir”, ”hak-batil”. Selain itu muncul juga bentuk dakwah dengan membawa isu-isu lokal maupun global, seperti ”Kristen-Islam”, ”misionaris-ulama”, ”orde lama-orde baru”, ”Komunis-Islam”, ”Islam tradional-Islam modern”, ”Islam liberal progresif-Islam ideal substantif”, ”Islam radikal-Islam moderat”, bahkan terakhir ini adalah isu ”Yahudi-Arab” atau ”Israel-Palestina”. Akibatnya adalah manifestasi dari pola relasi nilai-nilai atau etika agama dengan budaya Indonesia tidak menjadi pandangan sikap, perilaku, dan mental kehidupan masyarakat.
Problematika seperti ini sudah saatnya mendapatkan solusi dengan tawaran etika Islam yang memiliki prinsip utama ajaran etika sebagai inti teologi, yang selanjutnya menjadi landasan untuk membebaskan manusia dari segala macam keterbelakangan serta mengembangan struktur sosial masyarakat untuk menciptakan keadilan dan kebajikan (Engineer, 2006: 11). Etika religius dalam hal ini Islam berpotensi membebaskan perbudakan di antara manusia dan menekankan ketergantungan serta penghambaan hanyalah bagi Tuhan semesta alam.
Kurangnya elaborasi yang mendalam mengenai etika religius dalam hal ini Islam, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan untuk menjawab tantangan zaman yang membutuhkan solusi praktis dan spritual, menyebabkan masalah etika religius masih terbuka seluas-luasnya untuk dikembangkan. Hal ini tidak mengherankan, karena ranah etika pada hakikatnya menyentuh setiap aspek kehidupan manusia. Contoh beberapa macam etika yang perlu mendapatkan perhatian dalam kaitannya dengan kehidupan beragama dan bermasyarakat, dan telah dibahas oleh para sarjana dan cendekiawan untuk diterapkan dalam kehidupan adalah etika sosial (Teichman, 1998), etika profesi hukum (Muhammad, 2006), etika lingkungan (Kaelan, 1999 dan Keraf, 2006), etika bisnis (Latif, 2006), etika kebidanan dan hukum kesehatan (Soepardan dan Hadi, 2005), etika customer service (Kasmir, 2005), etika bisnis dalam Islam (Ahmad, 2006 dan Beekum, 2004), dan etika politik dan kekuasaan (Haryatmoko, 2003). Beberapa contoh dari pembahasan etika tersebut menunjukkan betapa luasnya dimensi etika yang secara komprehensif mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu etika menjadi ujung tombak bagi kemajuan suatu bangsa dan peradaban. Dan dalam pandangan Islam yang telah disebutkan terdahulu, bahwa misi utama kenabian adalah untuk menyempurnakan etika (akhlak yang mulia).
Kehadiran etika religius sangat penting dewasa ini, karena adanya proses partikularisasi nilai-nilai keagamaan dalam zaman yang terus berubah. Secara umum, semua agama lebih-lebih Islam yang dalam syariatnya menekankan pentingnya etika religius, diejawantahkan dalam praktik hidup sehari-hari, tanpa membatasi wilayah realitas normatifitas saja, tetapi juga mencakup realitas kemanusiaan (Abdullah, 2004: 63). Suseno (1987: 15-16) menyatakan setidaknya ada empat alasan mengapa etika religius dewasa ini semakin diperlukan. Pertama, kehidupan masyarakat yang semakin pluralistik, termasuk aspek moral. Banyak ajaran moral saling berhadapan dan seringkali saling bertentangan, karena adanya klaim kebenaran (truth claim). Peneguhan suatu pendirian dalam pergolakan pandangan-pandangan moral ini memerlukan refleksi kritis etika. Kedua, kehidupan masa transformasi di bawah hantaman gelombang modernisasi. Transformasi ekonomi, sosial, intelektual, dan budaya menantang pertahanan nilai-nilai budaya. Dalam situasi ini etika religius diperlukan agar manusia tidak kehilangan orientasi, dapat membedakan apa yang hakiki dan apa yang boleh saja berubah, sehingga tetap sanggup untuk mengambil sikap dan perilaku yang tidak menyimpang. Ketiga, tidak mengherankan bahwa proses perubahan sosial, budaya dan moral yang dialami ini dipergunakan oleh berbagai pihak untuk memancing di air keruh. Etika religius sanggup menghantarkan manusia untuk menghadapi hal itu dengan kritis dan membentuk penilaian yang baik, sehingga manusia tidak naif dan ekstrim, tidak cepat-cepat memeluk segala ajaran yang baru, tetapi juga tidak menolak nilai-nilai hanya karena baru dan belum biasa. Keempat, etika religius juga diperlukan oleh kaum agama yang di satu pihak menemukan dasar kemantapan dalam iman dan kepercayaan, di lain pihak sekaligus untuk berpartisipasi tanpa takut-takut dan tidak menutup diri pada semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah.
Ajaran-ajaran etika religius yang diperlukan sekarang ini, dapat digali dari berbagai sumber selain dari kitab suci, yaitu antara lain dari tradisi atau ajaran atau pemikiran tokoh sejarah. Kajian ini membahas tentang pemikiran atau ajaran-ajaran dari seorang tokoh yaitu Syekh Yusuf. Syekh Yusuf adalah salah satu mujaddid (Azra, 1994: 232) terpenting dalam sejarah Islam di Indonesia, jejaknya meliputi wilayah yang sangat luas, dari Sulawesi Selatan dan Jawa Barat, hingga Arabia, Sri Lanka dan Afrika Selatan. Beliau adalah tokoh historis yang sangat menarik untuk menjadi objek kajian, bukan hanya karena beliau dikenal sebagai dai, ulama, ahli tarekat, dan sufi besar yang telah mencapai puncak pendakian spiritual tertinggi dalam suluknya, dan karenanya ia menjadi wali yang suci dan karamah, tetapi juga ia tampil dalam peran sosial politik, menjadi mufti Kerajaan Islam Banten, menjadi pejuang yang memiliki patriotisme besar melawan kezaliman penjajah di bumi Nusantara, sekaligus menjadi tokoh yang berpengaruh di berbagai negara.
Kajian ini berusaha untuk mengenalkan kembali kepribadian tokoh pemikir dan ulama Indonesia serta ajaran-ajarannya, di samping karena sebagian besar masyarakat muslim Indonesia belum banyak mengenal Syekh Yusuf sebagai seorang ulama Indonesia masa lalu dan juga seorang pejuang pada masa penjajahan Belanda (Salam, 1994: 55). Selain itu, juga untuk menjadikan ajaran-ajaran atau pemikiran serta kepahlawanan dan keulamaan Syekh Yusuf yang tidak hanya bertaraf nasional tetapi juga internasional, sebagai nilai-nilai etika dalam rangka memperkuat kembali moralitas religius masyarakat. Indonesia sebagai bangsa tempat kelahiran Syekh Yusuf, tentu merasa bangga karena ketokohan beliau telah melampaui batas wilayah yang amat luas, bahkan pemerintah Afrika Selatan pada tahun 2005, menetapkan Syekh Yusuf sebagai pahlawan nasional Afrika Selatan (TransTV, 31 Maret 2007).
Syekh Yusuf adalah tokoh historis yang pernah hidup untuk sebuah contoh keutamaan karya etika religius. Dipilihnya Syekh Yusuf sebagai objek kajian dinilai relevan, karena ajaran-ajarannya dalam mengembangkan ajaran-ajaran luhur Islam, dapat direfleksikan atau relevan dengan krisis multidimensi, yang juga menyebabkan krisis etika, karena moralitas kehidupan beragama masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam mengalami krisis. Krisis yang terjadi, berlangsung di tengah-tengah umat Islam sedang mengembangkan cara-cara dakwah. Ketokohan Syekh Yusuf dalam sejarah, memiliki pengaruh dan berhasil membawa Islam sebagai agama yang maju berkembang di dalam corak masyarakat yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang kaya akan pandangan-pandangan atau nilai tradisional.
Melekatnya dakwah Islam dengan tradisi, strata dan latar belakang masyarakat pada masa Syekh Yusuf, merupakan faktor-faktor penting dalam dakwah Islam yang dikembangkannya, dan karenanya relevan untuk menjadi perhatian dakwah dewasa ini, baik secara perorangan maupun institusi. Di dalam berbagai literatur dijelaskan bahwa perbedaan status sosial (ekonomi, pendidikan, lingkungan tempat tinggal), menyebabkan intensitas dan derajat pemahaman keagamaan menjadi berbeda atau beragam. Bahkan latarbelakang pendidikan yang tidak sama, baik dari jenis pendidikan, perlakuan pendidikan (treatment), dan faktor status pelaku dakwah, menyangkut kapasitas, kapabilitas, kualitas, dan profesionalitas, secara personal maupun institusional, ikut mempengaruhi kesadaran dan partisipasi keberagamaan masyarakat (Mustari, 1995 dan 2000).
Syekh Yusuf dikenal sebagai seorang ulama, mubalig, sufi, ahli tarekat, dan pejuang, yang menguasai dan mengamalkan ajaran Islam baik lahir maupun batin (Shihab, 2001: 40; Hamid, 1990: 1-6; Sewang, 2005: 80-123). Oleh karena itu ajaran dan kepribadian Syekh Yusuf amat relevan untuk diteliti dan dikaji kembali.

B.     Rumusan Masalah
 Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penelitian ini merupakan penelitian etika religius Syekh Yusuf sebagai kajian utama, dengan sub judul penelitian adalah relevansinya bagi Dakwah Islam di Indonesia. Adapun rumusan masalah yang akan dijawab adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah ketokohan dan kepribadian Syekh Yusuf, apa hakikat kedudukan dan peranannya dalam sejarah Islam Indonesia, serta apa hakikat karya-karya pemikirannya?
2.      Apa hakikat konsep-konsep ajaran etika religius Syekh Yusuf, apa pengaruh tokoh pemikir Islam lainnya, dan bagaimana hakikat kedudukannya dalam pemikiran filsafat?
3.      Apa relevansi hakikat ajaran etika religius Syekh Yusuf bagi dakwah  Islam di Indonesia?

C.    Keaslian Penelitian
Pengkajian tentang pemikiran Syekh Yusuf bisa dilakukan dari berbagai perspektif. Salah satu di antaranya adalah perspektif Etika yang di dalamnya mengandung nilai-nilai universal, sehingga relevan dan aktual bagi kehidupan masyarakat dewasa ini yang sedang menghadapi berbagai hantaman masalah dan krisis multidimensi.
Penelitian tentang ajaran-ajaran etika religius Syekh Yusuf belum banyak bahkan penelitian yang mengkaji relevansinya dengan dakwah Islam di Indonesia, belum ada. Penelitian ini memberikan deskripsi yang berbeda dalam hal analisis dan heuristik. Analisis filosofis dari sudut teori etika religius, ditambah dengan teori etika filsafat merupakan penelitian baru bagi penelitian pemikiran Syekh Yusuf. Beberapa aspek telah dikaji atau diteliti oleh beberapa peneliti terdahulu dan hasilnya sudah beredar sebagai literatur, tetapi masih terbatas. Dibandingkan dengan penelitian ini, penelitian yang sudah dilakukan, bersifat Anthropological approach, Historical approach, Filological approach, Sociological approach,belum menyentuh aspek Philosophical approach, yang akan dipaparkan di bawah ini.
Salam (1994), dan Mangemba (2002), karya ini merupakan tulisan tentang tokoh. Salah satu di antaranya adalah riwayat hidup Syekh Yusuf yang merupakan pahlawan nasional, penyebar agama Islam dan pejuang hak asasi manusia.
Manyambeang dkk. (1991), yang menelusuri Lontarak Syekh Yusuf sebagai suatu analisis filologi kultural. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada objek formal dan metode penelitian. Objek formalnya bukanlah karya-karya Syekh Yusuf tetapi tulisan tentang Syekh Yusuf dari masyarakat dari mana Syekh Yusuf berasal.
Karya filologi lain yang memfokuskan hanya pada satu karya Syekh Yusuf  adalah penelitian satu karya Syekh Yusuf yang berjudul: ”Menyingkap Intisari Segala Rahasia”, oleh  Lubis (1996). Penelitian ini merupakan penelitian sejarah kelahiran dan filologi.
Kajian lain tentang Syekh Yusuf yang bersifat sejarah dan antropologis adalah  kajian yang membahas secara deskriptif terbatas, oleh  Hamid (2005). Oleh karena itu karya ini lebih menitikberatkan pada kajian deskriptif antropologis.
Sarjana Barat yang mengkaji tentang Syekh Yusuf, adalah B.F. Matthes dalam ”Boeginesche en Makassarsche Legenden” dalam BKI Vierde Volgreeks deel 1885, mengemukakan bahwa Syekh Yusuf lahir di Gowa sesudah berkembangnya agama Islam. Matthes selanjutnya menulis bahwa Syekh Yusuf atau disebut juga Tuang Salamaka atau yang diberkati, merupakan salah seorang wali yang dikeramatkan. Matthes juga menceritakan bahwa Syekh Yusuf naik haji dan sekembalinya, beliau menetap di Banten. Penelitian ini hanya bersifat deskriptif historis saja (Tudjimah, 1990).
Karya yang bersifat deskriptif dan historis lain adalah tulisan George M. Call Theal LLD, dalam “History of South Africa under the Administration of the Dutch East Indian Company” (1652-1795). Ia menulis tentang kiprah Syekh Yusuf dalam membela kerajaan Banten menentang kompeni Belanda yang dianggap menindas. George M. Call menyebutkan bahwa Syekh Yusuf merupakan seorang tokoh agama yang memiliki pengaruh besar (Tudjimah, 1990). Kedua karya tentang Syekh Yusuf oleh sarjana dari Belanda dan Inggris tersebut, merupakan karya sejarah yang termasuk langka dan sulit ditemukan di Indonesia. Oleh karena itulah, penulis merujuk pada ulasan Prof. Dr. Tudjimah.
Selain itu ada beberapa ulasan singkat tentang Syekh Yusuf (Salam, 1994: 46-47) yang pernah dilakukan oleh Ligtvet (1880), Hendrik Carel Vos Leibbrandt (1896), G.W.J. Dre-wes (1926), A.A. Cense (1950), P. Vorhoove (1957). Tulisan-tulisan mereka pada dasarnya tidak mengurangi minat peneliti lain untuk melepas karya aslinya, para peneliti lain tetap menjadikan karya asli Syekh Yusuf sebagai objek penelitian. Apalagi tulisan peneliti tersebut di atas tidak banyak menyentuh atau membahas pemikiran Islam atau tassawuf khususnya lagi pemikiran moral Syekh Yusuf.  
Darusman (2008), “Jihad in Two Faces of Shariah, Islamic Jurisprudence and Islamic Sufism (Fiqh and Tasawwuf) Case Studies of Sheikh Yusuf al-Maqassary and Sheikh Daud al-Fatani of Thailand” (Jihad dalam Dua Wajah Syariah, Fikih Islam dan Tasawuf Islam: Studi Kasus Syekh Yusuf al-Makassary dan Syekh Daud al-Fatani). Karya ini merupakan Disertasi yang fokusnya adalah kajian tentang konsep jihad dalam syariat Islam, yaitu konsep jihad dalam fikih dan tasawuf serta konsep syariat Islam. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sejarah secara komprehensif. Artinya pembahasannya tidak hanya berdasarkan urutan sejarah an sich tetapi juga menyentuh aspek-aspek teologis, sosiologis dan filosofis serta analisa-analisa yang melatarbelakangi munculnya konsep-konsep tersebut di atas dalam tradisi Islam. Selain itu, tidak hanya sekedar sejarah, Disertasi ini juga membahas tentang perkembangan konsep-konsep tersebut dalam dinamika perkembangan pemikiran Islam. Namun tentu saja karena Disertasi tersebut tidak berfokus pada aspek-aspek etika dalam pandangan filsafat Islam, maka kajiannya berbeda dengan Disertasi ini yang membahas tentang etika religius dalam konsep Syekh Yusuf.

D.    Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1.      Untuk menjadikan keteladanan dan kepribadian tokoh Syekh Yusuf sebagai contoh bagi kehidupan moralitas masyarakat di tengah-tengah krisis epistemologi dan krisis etika saat ini. Apalagi masyarakat belum banyak mengenal Syekh Yusuf sebagai seorang ulama, pemikir, sufi, mubalig, dan pejuang pada masa penjajahan Belanda. Penelitian ini juga untuk memberikan sumbangan pemikiran etika religius di dalam gerakan dakwah Islam di Indonesia yang juga mengalami krisis.
2.      Dengan penelitian seperti ini, dapat meningkatkan rasa ingin tahu (curiosity) dalam mencari ilmu pengetahuan, karena bagian filsafat yang hakiki adalah rasa ingin tahu akan segala sesuatu yang benar (Poedjawiyatna, 2004: 13). Dalam hal ini dapat menemukan pola hubungan atau relasi antara ulama yang memiliki kemampuan lahir dan batin dalam amal dan dakwah, serta melihat secara ekstensif ajaran-ajaran ulama sehingga dapat mendorong sikap, perilaku, dan keterampilan masyarakat pada keteladanan Syekh Yusuf dalam beragama.
3.      Untuk mengembangkan dan menggugah para ilmuwan serta masyarakat, akan pentingnya aspek-aspek etika dalam kajian keilmuan, khususnya yang terdapat dalam ajaran-ajaran sufi atau tasawuf yang seringkali menjadi perhatian masyarakat sejak dahulu. Aspek pengembangan keilmuan dalam penelitan ini adalah keilmuan bidang akhlak dan tasawuf dalam Islam dan etika dalam filsafat.
4.      Untuk memberikan masukan bagi adanya usaha mengangkat dan menghargai ketokohan seorang ulama sekaligus pejuang kemerdekaan, sesuai dengan jargon nasionalisme bangsa Indonesia, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya. Negara dalam hal ini pemerintah, diharapkan selalu memberikan perhatian yang besar terhadap nilai-nilai sejarah melalui peran para tokoh dan cendekiawan, sehingga nilai-nilai perjuangan tersebut dapat direpresentasikan oleh masyarakat bersama pemerintah dalam berbagai artikulasinya, untuk kepentingan pembangunan.




E.     Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Menemukan konsep-konsep dan hakikat ajaran etika religius Syekh Yusuf sebagai kajian utama, dan menemukan relevansinya bagi sub kajian yakni Dakwah Islam di Indonesia. Dimulai dengan ketokohan dan kepribadian Syekh Yusuf, hakikat ajaran-ajarannya yang ditelusuri dalam karya-karya dan sejarah kepribadiannya. Jawaban atas beberapa masalah pokok di atas diharapkan memberikan pengetahuan yang bersifat ekstensif dan komprehensif bila dibandingkan dengan penelitian yang pernah ada.
2.      Menemukan inti konsep-konsep etika religius dalam berbagai karya Syekh Yusuf, dan menjelaskan eksistensi dan kedudukan pemikiran etika religius Syekh Yusuf dalam pemikiran filsafat. Selanjutnya kajian ini dapat menemukan relasi inti konsep-konsep etika religius secara filosofis, dengan maknanya secara sosial kemanusiaan, dan jaringan keilmuannya dengan guru-guru dan tokoh-tokoh pemikir yang sering menjadi rujukannya.
3.      Mengungkapkan relevansi hakikat etika religius bagi dakwah Islam di tengah-tengah realitas kehidupan masyarakat yang mengalami krisis moral di Indonesia. Hubungan antara etika dan persoalan-persoalan lain di luar substansi etika itu sendiri telah dielaborasi dalam berbagai perspektif oleh berbagai kalangan. Setidaknya ada beberapa tulisan yang relevan dengan hal ini yakni: (Schmitt, 1996; Thomas, 1996; Nasr, 1996; Schuon, 1996; Collins, 1996, dalam Permata (ed.); Tanuwibowo, 2006; Hadiwardoyo, 2006; Risakotta, 2006; Sumarthana, 2006; Qadir, 2006; Wardana, 2006; Jotidhammo, 2006; Setiawan, 2006, dalam Aminah, (ed.).

F. Tinjauan Pustaka
Pembahasan tinjauan pustaka diawali dengan penelusuran definisi-definisi secara etimologis (asal kata) dan terminologis (istilah). Dalam tradisi intelektual Islam, hal ini biasa disebut secara lughawi atau bahasa dan istilahi atau istilah. Istilah lughawi menjadi dasar pengembangan pengertian suatu konsep secara istilahi. Pembahasan secara lughawi dan istilahidalam kajian ini merupakan bagian yang integral, yang dalam kajian filsafat disebut sebagai definisi secara etimologis dan terminologis (Kaelan, 2005: 1-3; Bertens, 2002: 7).
Pembahasan pertama adalah istilah etika. Etika berasal dari bahasa Yunani kuno, yakni dari kata ethos dalam bentuk tunggal yang mempunyai banyak arti seperti : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap dan cara berfikir. Dalam bentuk jamak, ta-ethaartinya adalah adat kebiasaan. Arti terakhir inilah yang menjadi latar belakang terbentuknya istilah etika yang dipakai oleh filosof Yunani besar Aristoteles (384-322 SM). Istilah etika telah dipakai untuk merujuk pada filsafat moral, tetapi apabila hanya membatasi diri pada asal usul kata ini maka etika berarti ilmu tentang kebiasaan. Oleh karena itu menelusuri arti etika secara etimologis saja belumlah memadai. Sedangkan hubungan kata etika dan moral dapat dilihat dari pengertian-pengertiannya.
Sehubungan dengan istilah etika, kata lain yang sering diidentikkan adalah kata moral. Moral berasal dari bahasa latin, mos jamaknya mores,yang berarti kebiasaan atau adat (Bertens, 2002: 4). Moral dan etika seringkali diartikan berbeda, dan sekaligus mempunyai arti yang serupa. Kata etika itu sendiri, secara bahasa memiliki beberapa arti:
1.      Moral principles that control or influence a person’s behavior atau prinsip moral yang mengontrol atau mempengaruhi tingkah laku seseorang.
2.      System of moral principles or rules of behavior, atau sistem dari prinsip-prinsip moral atau aturan-aturan tingkah laku.
3.      The branch of philosophy that deals with moral principles, atau cabang dari filsafat yang berkenaan dengan prinsip-prinsip moral (Hornby, 2005:  520). Oleh karena itu, kata ini telah menjadi kata serapan dalam Bahasa Indonesia yang didefenisikan sebagai: ”ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk dan tentang hak dan kewajiban”(Departemen Pendidikan Nasional, 2005: 309).
Terlepas dari batasan istilah di atas, etika dalam teori segitiga Notonagoro, merupakan bagian dari unsur kepribadian manusia, yaitu:
a. Akal           → rasio
b. Rasa           → estetika
c. Kehendak   → etika
Oleh karena itu substansi etika dalam konteks peran dan fungsi manusia baik sebagai makhluk pribadi, maupun sebagai makhluk ciptaan, merupakan kualitas nilai benar dan salah serta berkenaan dengan keindahan dan keselarasan manusia di hadapan alam dan manusia di hadapan Tuhan (Kaelan, 2002: 137).
Kata akhlak yang dikenal dalam Islam berbeda dengan kata etika. Akhlak berasal dari kata bahasa Arab; khalaqaatau khalqun, yang berarti kejadian atau penciptaan makhluk, merujuk pada penciptaan manusia secara sempurna yaitu ruh, jasad serta pikiran. Dalam kamus bahasa Arab (Yunus, 1989: 120), kata etika atau moral atau akhlak, bermakna perangai. Akhlak dimaksudkan sebagai suatu sikap manusia secara lahir dan batin. Sikap lahiriah atau perangai yang tercermin dalam tindakan manusia adalah produk dari suasana batin dan dorongan akal pikiran manusia. Sedangkan secara istilah, akhlak adalah pengetahuan tentang tindakan yang baik dan buruk berdasarkan dorongan murni atau batin. Kesadaran untuk memilih yang baik itu disebut kesadaran etis atau kesadaran moral (Poedjawiyatna, 2003: 27).
Mulkhan (2003: 50), berpendapat bahwa etika berbeda dengan akhlak dalam istilah Islam. Mulkhan mengatakan, bahwa memang keduanya (etika dan akhlak) berbicara tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan, dan apa yang baik dan yang buruk, tetapi basis ontologis dan epistemologis keduanya berbeda. Selanjutnya, Mulkhan menyatakan, bahwa akhlak adalah hasil dinamika kebudayaan yang lahir dari tiga unsur yaitu: teks suci, pikiran dan konteks sosial.
Kata akhlak atau khalaqa dengan berbagai derivasinya, dapat ditemukan di dalam al-Qur’an, sebanyak 223 kata yang kesemuanya merujuk pada keserupaan akan tetapi tidak sama dengan pengertian etika, dan berhubungan dengan penciptaan atau kejadian manusia (Maqdisi, 2007: 135-138).
Dalam penelitian ini kata etika dan akhlak tidak disamakan karena perbedaan basis ontologis dan epitemologisnya. Walaupun ada yang cenderung tidak mempertentangkannya. Alasannya adalah karena etika berasal dari bahasa Inggris yang diserap dalam bahasa Indonesia. Sedangkan akhlak merupakan kata yang diserap dari bahasa Arab. Tidak akan dijumpai kata akhlak dalam bahasa Inggris atau kata etika dalam bahasa Arab. Pandangan-pandangan yang membedakan bahwa etika itu berbeda dengan akhlak hanya akan mempersempit pengertian akhlak atau etika itu sendiri. Bila dihadapkan pada pertanyaan, jadi orang-orang Arab tidak memiliki etika tetapi hanya akhlak sedangkan orang-orang Eropa tidak memiliki akhlak tetapi etika, maka definisi yang membedakan antara etika dan akhlak menjadi sangat lemah dan tidak dapat diterima secara logika.
Penelitian ini memakai pengertian kedua kata itu, bahwa akhlak dan etika adalah suatu kajian yang berhubungan dengan tanggung jawab dan kebebasan manusia. Etika merupakan tindakan yang didasari oleh dua poros penting seperti tersebut di atas yaitu tanggung jawab dan kebebasan. Tanggung jawab dan kebebasan ini selanjutnya berhubungan dengan pertimbangan dan penilaian akal dan suara hati (Suseno, 1987: 21-112). Sejalan dengan Suseno, Maqdisi (2007: 134) mengatakan bahwa kata akhlak memiliki relevansi dengan penciptaan lahir batin manusia yaitu akal budi, hati dan jasmani sebagai pelaksana dari tindakan manusia.
Teori-teori etika yang dominan di sini adalah teori etika fase modern sebagai kelanjutan dari pandangan filsafat awal pada masa Yunani yang mendudukkan etika sebagai sesuatu yang netral tidak membicarakan suatu tindakan benar atau salah. Hal ini dikarenakan pada saat itu pandangan para filosof zaman Yunani tidak ditopang oleh ideologi keagamaan. Walaupun pada saat itu para filosof sudah memiliki pemikiran tentang sang Pencipta, namun belum dapat dikategorikan sebagai agama yang terorganisir (organized religion) atau agama yang telah memiliki sistem yang baku.
Uraian lebih jauh tentang etika, akan dibahas pada bab selanjutnya, yang dimulai dengan teori dan pandangan tentang etika, tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh besar, serta aliran-aliran yang dikenal dalam pembahasan-pembahasan tentang etika. Uraian tidak dilakukan secara berurut atau dimasukkan dalam satu bab, akan tetapi terdapat pada setiap bab, termasuk sebagian di antaranya telah diuraikan dalam bab ini.
Pembahasan yang kedua adalah kata religius. Religius berasal dari kata religi yaitu kepercayaan kepada Tuhan: kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati atas manusia: kepercayaan (dinamisme, animisme), agama (Departemen Pendidikan Nasional, 2005: 943). Adapun religius berarti bersifat religi, bersifat keagamaan, atau yang bersangkut paut dengan religi. (Departemen Pendidikan Nasional, 2005: 944) Dalam bahasa Inggris religius berarti: connected with religion or with particular religion: sesuatu yang berkaitan dengan agama tertentu (Hornby, 2005: 1279).
Kata religius dalam bahasa Latin, berasal dari re-liga-re yang memiliki dua arti penting. Pertama adalah pengikatan diri manusia kepada Tuhan, atau lebih tepatnya manusia menerima ikatan itu justru karena ikatan itu dipahami sebagai sumber kebahagiaan, sehingga terselenggaralah kepentingan yang memuat seluruh dirinya. Dengan demikian tercapailah integrasi dan pembentukan baru dari pribadinya. Kedua, pusat dan tujuan dari seluruh hidup. Kedua arti religi ini didasarkan pada pendekatan yang menampakkan suatu gejala kemanusiaan universal  (Supadjar, 2001: 103-104).
Etika merupakan salah satu kajian penting filsafat, yaitu satu di antara tiga tema besar kajian filsafat yang meliputi: pertama, logika atau kajian tentang apa yang disebut benar atau salah. Kedua, etika atau kajian tentang mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk dan ketiga, adalah estetika atau kajian tentang apa-apa yang termasuk indah dan apa-apa yang termasuk jelek (Sumantri, 1984: 32;   Bertens, 2002: 11-15; Supadjar, 2001: 137-138). Sebagai cabang dari filsafat, etika memiliki sifat dasar yaitu kritis dalam mempersoalkan norma-norma yang dianggap berlaku dan menyelidiki norma-norma tersebut (Praja, 2005: 59-67).
Oleh karena itu etika religius adalah bagian dari filsafat, sebagaimana aspek masalah yang lain yang senantiasa diberi landasan moral, seperti, politik, bisnis/ekonomi, kedokteran atau kesehatan, lingkungan hidup, seks atau rumah tangga, sosial, dan lain-lain. Bahkan kajian keagamaan dalam filsafat menjadi suatu aliran yang terkenal dengan sebutan aliran Religiusisme atau aliran yang berpendapat bahwa baiklah sesuatu yang sesuai dengan kehendak Tuhan, dan buruklah sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Maka agamalah yang menentukan manakah yang menjadi kehendak Tuhan (Poedjawijatna, 2003: 47;  Suraji, 2006:1-17; Amril, 2002: 6).
Di dalam pembahasan-pembahasan tentang etika, terdapat beberapa aliran, yang dapat dilihat secara singkat sebagai berikut:
1.      Religiusisme, adalah salah satu aliran dalam filsafat yang menjadikan agama sebagai ukuran baik atau buruknya perbuatan.
2.      Hedonisme, yang menekankan pada pentingnya rasa puas bagi manusia sebagai indikator kebaikan.
3.      Utilitarisme, yang menilai sesuatu kebaikan dari kegunaan.
4.      Vitalisme, yang menilai kebaikan dari kekuatan dalam hidup manusia yaitu kekuatan dan kekuasaan yang menaklukkan orang lain yang lemah. Ringkasnya manusia yang kuasa itulah yang baik.
5.      Sosialisme, yang menilai kebaikan atau keburukan tindakan manusia itu dari penilaian masyarakat tertentu, yaitu apa yang lazim dianggap baik oleh masyarakat tertentu itu baik, maka menjadi baiklah. Inilah yang disebut ukuran sosialistis dalam etika.
6.      Humanisme, yang menilai kebaikan sesuai dengan kodrat manusia, yaitu kodrat kemanusiaannya. Dalam tindakan kongkrit tentulah manusia kongkrit pula yang menjadi ukuran, sehingga segala pikiran, rasa, situasi seluruhnya akan ikut menentukan baik buruknya tindakan konkrit itu. Penentuan dari baik dan buruknya tindakan yang kongkrit itu adalah kata hati orang yang bertindak yang diutarakan oleh humanisme. Tiap-tiap aliran pada hakikatnya merupakan ukuran yang abstrak, ukuran objektif, terlepas dari subyek yang melakukan tindakan itu. Jadi tindakan yang baik adalah tindakan yang sesuai dengan derajat manusia, jadi tidak mengurangi atau menentang kemanusiaan (Poedjawiyatna, 2003: 44-50).
Ajaran etika religius dalam Islam kebanyakan tercermin dari tasawuf yang pada hakikatnya adalah hasil dari pemikiran dan pelaksanaan kaum sufi tentang ajaran Islam dalam pengembangan dakwah baik secara lisan, tulisan ataupun perbuatan, artinya memberikan contoh riil dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran Islam yang meliputi aspek hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia, pada hakikatnya adalah etika religius (Hanafi, 2007: 16­).
Kata tasawuf berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata shafa, yang berarti jernih, shafwah, yang berarti orang-orang terpilih, shaf, yang berarti baris atau deretan. Pemaknaan ini mengandaikan para generasi muslim awal yang tegak berdiri di baris pertama dalam ibadah maupun jihad. Padanan istilah yang lain juga dapat digunakan, seperti kata shuffa, yang berarti sebuah serambi sederhana yang terbuat dari tanah dengan bangunan sedikit lebih tinggi dari tanah, shuf, yang berarti kain wol yang kasar, yang bermakna memperhatikan dimensi esoteris (batin) agama dan kurang memperhatikan penampilan luar, sehingga pakaian Wol kasar yang dikenakannya tidak begitu soal (Siroj, 2006: 37).
Sehubungan dengan konsep etika dalam ajaran tasawuf, penting untuk dikemukakan bahwa secara garis besar tasawuf terbagi dua kategori, yaitu tasawuf nazhari dan tasawuf amali. Tasawuf nazhari,  adalah tasawuf yang mengembangkan pemikiran dan analisis filosofis rasional. Sedangkan tasawwuf amali, adalah tasawuf yang mengembangkan sikap hidup sederhana semata-mata dan sikap zuhud (tidak rakus pada dunia), (Baydan, 2001: 54). Kedua kategori tasawuf ini telah melandasi pemikiran filsafat etika. Tasawuf nazhari melandasi pemikiran filsafat etika secara teoritis dan tasawuf  amali  melandasi pemikiran filsafat etika secara praktis. Kedua hal ini amat penting dan merupakan suatu kesatuan yang integral dalam ajaran etika Islam.
Menurut sejumlah ulama seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, apa yang disebut tasawuf berhimpitan dengan etika Islam, sehingga tasawuf dapat disebut juga sebagai moralitas Islam walaupun dalam sejarah masa rasul Muhammad Saw. kata tasawuf tidak begitu dikenal (Siroj, 2006: 38). Spektrum makna tasawuf bukan sekedar etika, tetapi juga bermakna estetika, karena dimensinya terkait dengan jiwa, ruh, dan intuisi. Idealisasinya, mencakup pembangunan dunia yang bermoral seperti manusia yang hidup dengan benar, rajin beribadah, berakhlak baik, sekaligus merasakan indahnya hidup dan nikmatnya ibadah yang penuh makna.
Berkaitan dengan hal itu, maka Islam dengan syariatnya sebagai sistem ajaran keagamaan yang lengkap memberi tempat yang penting pada dimensi eksoteris dan dimensi esoteris (Syukur, 2001: 38). Etika Islam yang tercermin dalam tauhid Islam, menekankan tiga elemen penting yaitu: iman, hari akhir dan amal saleh. Ketiga hal tersebut merupakan isyarat sekaligus formulasi yang menyatukan dimensi spiritual (tasawuf) yang mengarah pada realitas yang transendental dan aktivitas kongkrit dalam sejarah yaitu pelaksanaan syariat (Syukur, 2001: 37; Rafiq, 2001: 72-84; Trimingham, 1999: 1; Haeri, 2003: 73). Pelaksanaan syariat yang berlandaskan pada aspek lahir dan batin (fikih dan tasawuf) dalam Islam, yang menekankan pada etika hubungan Tuhan dengan manusia serta manusia dengan manusia inilah yang penting untuk digali kembali dari berbagai sumber.
Perspektif lain tentang etika religius secara umum yang patut disebutkan di sini adalah pandangan Adams (Peterson, et.al., 1996: 527-536). Pandangannya ini membicarakan tentang teori perintah Tuhan secara umum dengan fokus bahwa etika Ketuhanan pada manusia sebenarnya mengajarkan cinta kasih untuk hidup secara etis. Meskipun secara logis dapat saja diterima bahwa seluruh perbuatan bersumber dari Tuhan, namun tidaklah mungkin Tuhan menyuruh manusia untuk berbuat kejam dan jahat, karena itu bertentangan dengan sifatNya yang Maha Baik kepada manusia. Memang Tuhan memberikan dua potensi nilai dalam diri manusia yaitu untuk memilih nilai baik atau buruk, benar atau salah. Manusia memiliki pilihan untuk memilih hukum moral Tuhan dengan berlandaskan kemampuan akal.
Selanjutnya adalah pandangan  Bertens,  yang membahas tentang etika secara umum yang juga sangat penting bagi landasan kajian-kajian tentang etika di masa yang akan datang (Bertens, 2002: 10-15). Aquinas (Peterson et.all,1996: 536-544) mengatakan, hukum etika mengikuti hukum alami dari kejadian, yang mana seluruh fenomena kejadian alam ini bersumber dari Tuhan. Oleh karena itu, etika religius harus menjadi landasan bagi manusia untuk menilai baik dan buruk dengan berdasarkan hukum yang berlaku di alam ini.
Kierkegaard (Bretal, 1947: i), dalam pandangannya bahwa dalam hidup yang berkaitan dengan hubungan manusia dan Tuhan, manusia diberi Tuhan kebebasan untuk memilih antara yang baik dan buruk. Kehendak bebas untuk memilih yang diberikan Tuhan inilah, maka secara mutlak manusia harus mengetahui etika religius atau etika keagamaan dengan benar agar tepat dalam memilih. Etika religius yang benar menurut Kierkegaard hanya berbicara tentang tugas-tugas kemanusiaan terhadap Tuhan dan nilai-nilai universal kemanusiaan.
Pandangan lain tentang etika religius yang mengemukakan konsep-konsep dasar dalam Islam adalah yang dikemukakan  Izutsu (1993) dan (1959). Di dalam dua karyanya tersebut, Izutsu menekankan pentingnya etika religius Islam untuk bersandar pada konsep-konsep yang digariskan al-Qur’an. Seseorang akan memahami dengan baik etika religius dalam Islam apabila kembali pada konsep-konsep dasar etika religius dalam al-Qur’an. Muthahhari (2004), menulis tentang filsafat moral atau filsafat etika dalam Islam secara umum, yang memberikan kritik terhadap konsep-konsep etika Barat yang dianggapnya sekuler dan tidak mempedulikan agama dan Tuhan. Penelitian ini juga merupakan pengenalan dasar terhadap filsafat moral dalam Islam secara umum.
Karya lain tentang etika religius dalam Islam yang membahas tokoh Islam adalah karya Amril, (2002). Karya ini merupakan disertasi tentang etika Islam yang memfokuskan pada karya-karya Raghib al-Isfahani. Disertasinya berisi penelitian yang menganalisa secara filosofis filsafat moral seorang ulama klasik. Karya lain yang senada dengan karya Amril yang mengambil kasus tokoh Islam abad pertengahan adalah disertasi Syukur, (2004). Disertasi Syukur mengambil tema etika religius dan fokus pada karya al-Mawardi.
Selain itu, perlu disebutkan juga di sini karya-karya sosiologi agama dan tasawuf  yang membahas kasus masyarakat di Timur Tengah, yang di dalamnya terdapat beberapa bahasan tentang peranan etika religius dalam suatu komunitas muslim, di antaranya adalah karya Gilsenan, (1973). Gilsenan memberikan catatan penting tentang etika hamba terhadap Tuhan dalam hubungannya dengan keputusan takdir. Walaupun Tuhanlah pemegang keputusan akhir dari takdir hamba, namun secara etis, hamba tetap harus berusaha semaksimal kemampuannya. Artinya keputusan takdir Tuhan tidak menjadi alasan hamba untuk bersikap pasif. Dengan demikian pemahaman etika religius yang benar telah memberikan semangat dan vitalitas spiritual dalam kehidupan. Hal ini dengan gamblang diterangkan oleh Gilsenan, bagaimana pemahaman yang benar tentang etika religius diterapkan oleh kelompok-kelompok kecil sufi di Mesir. Contoh yang diungkapkan Gilsenan adalah tarekat Syadziliah.
Senada dengan karya Gilsenan, namun mengambil contoh masyarakat Islam di Cyreneica (Libya) adalah karya Pritchard, (1973) yang  memaparkan karakter lain bagaimana etika religius Islam ditransformasikan dalam dakwah oleh tokoh-tokoh sufi dalam kasus Sanusi of Cyrenaica dari Libya. Dua tokoh sufi Syekh Sanusi dan Sayyid al-Mahdi, telah mengubah masyarakat Cyrenaica yang walaupun berstatus muslim, namun tidak peduli terhadap ajaran-ajaran agamanya. Kedua tokoh sufi tersebut telah dapat melakukan dakwah Islam dengan baik pada masyarakat Islam Cyrenaica, dengan mentransformasikan etika religius yang benar dan terorganisir dalam dakwah.
Kasus kelompok Sufi di Mesir yang disebutkan Gilsenan dan di Cyrenaica yang disebutkan Pritchard, relevan dengan teori Kierkegaard dan Isutzu, bahwa seseorang dapat menjadi hamba Tuhan yang saleh dengan tetap menikmati kehidupan duniawi tanpa menarik diri dari kehidupan bermasyarakat.
Karya penting yang lain dan relevan dengan kajian tentang etika religius adalah karya Weber (2006), yang memaparkan tentang etika Protestan yang memberikan spirit pada etos kerja kaum Protestan untuk lebih independen. Independen dalam arti lebih memiliki kemandirian dalam berkreasi dan bekerja, dibandingkan dengan kaum Katolik masa itu. Hal ini berbeda dengan komunitas Katolik yang lebih komunal. Pandangan ini juga merupakan kritik terhadap lemahnya etos dan etika kerja kaum Katolik bila bekerja secara individu, yang menurut Weber hal tersebut dikarenakan kaum Katolik terbiasa dengan kerja kelompok.
Kajian lain yang agak berbeda tapi sengaja ditempatkan di sini adalah menihilkan pentingnya etika religius dalam kehidupan masyarakat, yaitu karya Nielsen, (Peterson, et.al., 1996: 536-544). Nielsen secara radikal berpendapat bahwa baik atau buruk dapat ditentukan oleh akal budi, jadi etika religius tidak penting.
Pembahasan yang ketiga adalah kata dakwah. Dakwah berarti penyiaran, propaganda agama dan pengembangannya di kalangan masyarakat: seruan untuk memeluk dan mempelajari serta mengamalkan ajaran agama (Departemen Pendidikan Nasional, 2005: 232). Kata dakwah sendiri berasal dari bahasa Arab, da’ayang berarti memanggil, berdoa atau memohon. Dakwah berarti seruan, panggilan, ajakan atau jamuan (Yunus, 2003: 127).
Dakwah dalam Islam berarti menyeru umat agar kembali kepada Allah untuk kebaikan umat itu sendiri. Dakwah merupakan seruan untuk beriman kepada  Allah, Tuhan yang Maha Esa, berakidah dengan mentauhidkan Allah dan berjuang melaksanakan ajaran-ajarannya dengan jiwa dan raga. Dalam beberapa perspektif dengan segala variasinya, dapat dikemukakan bahwa dakwah berhubungan dengan konstruksi singkat di atas, (Amahzun, 2004: 1-53; Haikal, 2005: 90-115;  Hitti, 2006: 139-153; Buthy, 2006: 31-68; Mahmud, 2004: 29-176; Mahmud, 2003: 81;  Amstrong, 2004: 3-29).
Pengertian tentang dakwah Islam ini merujuk pada akar sejarah Islam khususnya pada masa Nabi Muhammad Saw. Melacak akar sejarah konsep dakwah Islam terutama pengertian konsep dakwah sang Nabi sebagai pembawa risalah Ketuhanan menjadi penting dalam memahami hakikat dakwah Islam.
Salah satu karya penting tentang dakwah yang mengangkat tokoh Islam kontemporer di Indonesia, adalah karya Iskandar (2000), yang menulis tentang konsep atau pemikiran dakwah Hamka. Secara umum penelitian ini merupakan telaah umum konsep-konsep dakwah Hamka. Penelitian ini berguna untuk mempertajam kajian karya-karya Syekh Yusuf dan hubungannya dengan dakwah Islam di Indonesia, meskipun penulisnya belum menghubungkan konsep dakwah tersebut dengan pengembangan dakwah atau relevansinya dengan krisis di Indonesia.
Qutb (1995: 1), menyatakan bahwa Islam merupakan agama dakwah yang bersumber dari al-Qur’an sebagai kitab dakwah, yang merupakan salah satu elemen untuk memacu perubahan. Pada zaman rasulullah, perubahan sebagai orientasi dakwah dilakukan melalui pendidikan seperti Darul Arqam, pengajaran agama secara individu maupun berkelompok baik di masjid maupun di rumah-rumah. Hal ini menunjukkan betapa relevannya dakwah bagi perubahan masyarakat.
Berdasarkan paparan dan identifikasi beberapa karya-karya penting tentang etika religius tersebut di atas, terlihat dengan jelas bahwa kajian tentang etika religius Syekh Yusuf belumlah dibahas secara khusus terlebih lagi bila melihat lebih jauh bagaimana relevansinya dengan gerakan sosial Islam yaitu dakwah di tengah-tengah krisis moral.

G.    Landasan Teori
Etika yang dimaksudkan pada kajian ini adalah etika keberagamaan. Etika keberagamaan adalah etika yang berlandaskan pada konsep-konsep ajaran agama yang menekankan totalitas sikap dan perilaku baik lahir maupun batin, dalam kaitannya dengan hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan antar manusia serta hubungan manusia dengan ciptaan Tuhan yang lain, sesuai dengan konsep-konsep ajaran Islam. Pemilihan teori-teori berikut merupakan hal yang dianggap berguna dalam kajian ini.
Meskipun dalam kajian ini, etika tersebut merupakan etika religius yang bersumber pada konsep-konsep Islam namun bila diperhatikan, semua bentuk kajian filsafat etika pada prinsipnya tidak terlepas dari sentuhan filsafat Yunani. Oleh karena itu pemikiran etika religius dalam hal ini Islam pada dasarnya merupakan hasil sintesis kreatif antara ajaran Islam dan pemikiran Yunani.
Berdasarkan kenyataan tersebut, Fakhry (1996: 1-67) membagi tipe teori etika Islam ke dalam empat kelompok, yaitu:
1.      Moralitas skriptural (scriptural morality); seperti ditunjukkan dalam quasi-quasi moral al-Qur’an dan as-Sunnah. Keputusan-keputusan etika diambil dari al-Qur’an dan as-Sunnah dengan memanfaatkan abstraksi-abstraksi dan analisis-analisis para filosof dan para teolog di bawah naungan metode dan kategori-kategori diskursif yang berkembang pada abad VIII dan IX.
2.      Teori-teori teologi (theological theories); dengan landasan pokoknya dari al-Qur’an dan as-Sunnah dan percaya penuh terhadap kategori-kategori dan metode-metode keduanya. Hal ini dapat dilihat pada kelompok Islam Muktazilah yang telah memformulasikan antara sistem etika Islam abad VIII dan IX dengan dasar pengandaian deontologi dan kelompok Asy’ariah yang telah mendirikan sistem moralitas yang kuat, yang tidak menolak metode diskursif para filosof akan tetapi tetap setia terhadap konsep al-Qur’an tentang Kemahakuasaan Tuhan. Tuhan Yang Maha Pencipta dan Pemurah sekaligus sebagai Sumber Utama Wujud dan Kebaikan di dunia.
3.      Teori-teori filsafat (philosophical theories); keputusan etika terutama yang berasal dari karya-karya etika Plato, Phytagoras, Aristoteles, dan Stoa yang telah diinterpretasi oleh penulis-penulis neo Platonik. Porphyry dari Tyre (w. Kira-kira 304), telah menulis duabelas buku komentar terhadap karya Aristoteles Nicomachean Ethic dan Galen (w. kira-kira 200) penulis Peri Ethon yang dikenal dari sumber-sumber Arab, merupakan contoh dalam hal ini, seperti yang dilakukan oleh Ibn Miskawaih dan para penerusnya, yang mana komentar terhadap karya-karya ini dijadikan dasar untuk mengkritik, untuk kemudian menyajikannya dalam bentuk neo Platonis dan memperluasnya dengan baju mistik.
4.      Teori-teori religius (religious theories); berakar dari konsepsi al-Qur’an tentang manusia dan kedudukannya di alam semesta. Keputusan etika kelompok ini berdasarkan pandangan dunia al-Qur’an, as-Sunnah, konsep-konsep teologi, kategori-kategori filsafat, dan bercorak sufisme. Unsur utama pemikiran etika ini biasanya terkonsentrasi pada dunia dan manusia. Oleh karena itu, sistem etika muncul dalam bentuk yang sangat kompleks sekaligus memiliki karakteristik yang paling Islami. Tipe kelompok ini adalah al-Hasan al-Basri (w. 728), dan Imam al-Gazali (w. 1111).
Berdasarkan pemikiran filsafat etika Islam di atas, Syekh Yusuf juga melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh pemikir-pemikir lain, bahkan di antara pemikir atau tokoh tersebut di atas ada yang sering dirujuk oleh Syekh Yusuf, sehingga acuan teori etika religius merupakan keputusan etika yang berakar pada prinsip-prinsip dan kategori-kategori dasar agama Islam.
Pemilihan teori merupakan suatu hal yang penting (Kaelan, 2005: 239-241; Muhadjir, 1996: 3-4). Teori-teori yang berguna untuk pembahasan kajian ini bertolak dari teori etika tentang keberagamaan yang dikemukakan oleh Toshihiko Izutsu dan Sooren Kierkegaard, tentang keberagamaan yang integral antara moral spiritual dan amal sosial. Kedua hal tersebut di dalam tulisan Syekh Yusuf dikenal dengan istilah syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Kedua pemikir di atas menawarkan suatu konsep universal dalam memahami hakikat agama, yang mana hal tersebut relevan dengan penelitian ini. Untuk memahami pesan-pesan dalam kitab suci, seorang penganut agama harus memiliki perasaan religius yang mendalam untuk memahami Tuhan dan segala kreativitas Tuhan di alam semesta, dan selanjutnya menyadari hakikat tujuan hidup. Setelah proses penyadaran diri ini adalah memahami pesan-pesan Tuhan yang dibawa oleh nabi-nabiNya melalui kitab suci. Oleh karena itu, memahami konsep-konsep dasar dalam kitab suci dalam hubungannya dengan pengabdian kepada Tuhan dan pergaulan sesama makhluk Tuhan menjadi suatu keharusan.
Kierkegaard (1947: 6; Kierkegaard, dalam Thomte, 1949: 111; Thomson, 2006: 97-98), menyatakan bahwa etika keberagamaan dapat dimulai dari pandangan tentang iman. Menurutnya, seluruh pemahaman akan iman akan tercermin pada tindakan dari kemauan seseorang yang beriman. Manusia hanya memiliki dua tujuan dalam hidup, yaitu keabadian atau mencapai kebahagiaan hakiki dari Tuhan, yaitu kebahagiaan di akhirat dan kebahagiaan dalam kehidupan temporer atau kehidupan dunia. Menurut Kierkegaard (1949: 204;  Kiekergaard, dalam Gardiner, 2002: 47-53) bahwa jiwa manusia berasal dari Tuhan, maka jiwa manusia itu telah direncanakan Tuhan untuk hidup secara seimbang harmonis denganNya.
Makna yang abadi menurut Kierkegaard terletak pada dorongan kepada diri yang menyadari batas etis tersebut. Kierkegaard berpendapat bahwa etika memiliki keterbatasan dalam mempersiapkan diri menghadapi tugas mutlak sebagaimana tergambar dalam pengorbanan Abraham dan anak kandungnya dalam perintah Tuhan (Kierkegaard, dalam Derrida, 1998: 152-174; dalam Giri, 2004: 412).
Teori Kierkegaard merupakan dialektika yang mengandung tiga tahapan pola hidup yaitu estetik, etik dan religius. Bereksistensi bagi Kierkegaard berarti berupaya untuk semakin mewujudkan diri, semakin menjadi individu yang autentik. Semakin autentik di sini berarti semakin menjadi makhluk rohani. Proses ini melewati tiga tahapan sebagai berikut:
1.      Estetik
Estetik adalah suatu tahap di dalam realitas yang mengandung medan kemungkinan. Suatu kenyataan baru dianggap bermakna bila merupakan kemungkinan yang memberinya kepuasan. Dengan demikian hidupnya sangat tergantung pada kenyataaan dan kemungkinan di luar dirinya.
Pola hidup semacam ini akan berakhir pada keputusasaan yang mendalam, sebab hidup tanpa standar moral yang mengikat berarti hidup tanpa kerangka makna, kehidupan yang berantakan. Pada saat itulah mungkin orang lalu membutuhkan standar moral yang menuntut komitmen konkrit. Bila ia berani mengikatkan diri ke sana maka ia masuk dalam tahap yang lebih dewasa yakni tahapan etik.
2.      Etik
Tahapan etik adalah pola hidup yang menganggap keutamaan-keutamaan moral (virtue)sebagai hal yang terpenting. Motivasi dasar perilaku orang adalah bagaimana mengubah dan mengarahkan kepribadiannya agar sesuai dengan cita-cita moral itu. Meskipun begitu, ia masih berada pada tahap penonton. Memang penonton yang posisinya sudah pas pada perspektif pentas, namun belum sebagai pemain sesungguhnya. Ia menjadi pemain kehidupan yang sejati bila ia masuk dalam tahap religius.
3.      Religius
Ini adalah tahap sepenuhnya hidup dalam iman. Tahap ini biasanya diawali oleh rasa bersalah pada tahap etis ketika ternyata bahwa dirinya tidak sempurna dan kurang mampu menjalankan norma-norma etis. Rasa bersalah itu lama kelamaan berkembang menjadi rasa dosa. Meskipun demikian, kesadaran ini konon berasal dari Allah. Masuk dalam tahap ini adalah soal rahmat, soal panggilan. Motivasi dasar perilaku orang dalam tahap ini adalah bagaimana menjalankan kehendak Tuhan. Tahap religius ini, dicontohkan dalam drama nabi Ibrahim petualang religius yang berani dan tulus (Sugiharto, 2000: 90-101).
Teori lain yang ditempatkan di sini adalah Isutzu (2003: 79) yang menekankan perlunya mengetahui terma-terma etika moral keagamaan yang terdapat dalam al-Qur’an dan membandingkannya dengan konsep-konsep etika yang dianut oleh masyarakat Arab sebelum Islam. Menurut Izutsu, bahwa titik poros etika Islam adalah sikap manusia terhadap kebaikan Tuhan berupa unsur kerendahan hati dan kelembutan. Etika merupakan implementasi dari aspek spiritual Islam. Aspek pertama adalah bahwa Islam sejak dini selalu menekankan tentang Allah yang maha murah dan baik. Di hadapan Tuhan semua manusia adalah sama dan tidak ada perbedaan derajat dan keturunan (Q.S. Al-Hujurat: 1041-1042). Kedua, Islam menekankan perlunya dan pentingnya sikap penyerahan diri kepada Allah (Q.S. Ar-Rum: 805). Penyerahan diri secara moral dan sukarela merupakan ciri dasar dan syarat utama kesalehan yang Islami (Izutsu, 2003: 82).
Relasi etika religius merupakan hal yang amat penting dalam setiap agama  semitik baik itu Yahudi, Kristen ataupun Islam. Sebab setiap konsep tentang hubungan antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah konsep yang bersifat etik. Tuhan bertindak terhadap manusia dengan cara yang etis, maka manusiapun selayaknya juga merespon dengan etika yang benar pula (Izutsu, 2003: 257).
Izutsu (1959: 49-52) menekankan adanya komitmen yang kuat dalam menegakkan etika terlebih bila di hadapannya terjadi ancaman atau kontradiksi. Sejarah Muhammad Saw. meriwayatkan tantangan yang diterima oleh Nabi Muhammad dari kaum Quraiys Mekkah adalah karena Nabi Muhammad memperkenalkan etika religius yang berbasis pada keesaan Tuhan (tauhid) sementara kaum Quraiys selama itu, sebelum kenabian Nabi Muhammad, memiliki landasan etis berdasarkan tribalisme.
Agama Islam pada dasarnya adalah agama etika dan agama akhlak sekaligus, yang non-sektarian, non-rasial, non-doktrinal dan bersifat universal. Nilai-nilai etika pada tradisi Islam dimaksud bukan hanya pada masalah-masalah kesopanan, namun lebih dari itu dalam pengertiannya yang paling mendasar adalah konsep pandangan hidup dan ajaran yang komprehensif yang menjadi pangkal pandangan hidup serta penilaian baik dan buruk serta benar dan salah (Madjid, 2005: 466). Oleh karena itu, para pengikut sejati agama Islam sebenarnya adalah orang-orang yang berbudi luhur. Hal ini sejalan dengan misi Nabi Muhammad untuk menyempurnakan keluhuran budi atau akhlak yang mulia.
Pemahaman keimanan yang hanya berkutat pada tataran ide dan metafisika kontemplatif serta normatif dan tidak membumi, pada hakekatnya belum menyentuh hakekat keimanan, karena keimanan mempunyai dua kategori: kognitif dan etik. Pertama kognitif, iman berhubungan dengan pengetahuan tentang kebenaran proporsi-proporsinya, ia menyinari segalanya. Kedua, etik adalah sikap jiwa yang bermuara dalam tindakan-tindakan (amal). Iman dan amal tidak dapat dipisahkan. Kedua hal ini direkat oleh tauhid sebagai prinsip keimanan yang paling asasi yang mewarnai sikap hidup, tabiat dan budi pekerti seseorang (Faruqi, 1962, dalam Syukur, 2004: 86). Oleh karena itu untuk mengembangkan paradigma etika religius dalam Islam, dasar-dasar etika Islam yang meliputi Iman, Islam, Ihsan atau Taqwa harus dapat diejawantahkan dan dapat memberikan jawaban bagi persoalan-persoalan riil kemanusiaan.
Pelaksanaan etika religius dalam Islam yang berdimensi ritual individual sampai sosial adalah pelaksanaan rukun Islam haji. Sejak persiapan dan pelaksanaan haji sampai pulang kembali ke tanah air, para jemaah haji dituntut untuk melaksanakan etika yang tinggi, seperti berbuat baik pada sesama, bersabar dalam perjalanan dan pelaksanaan haji, tidak dusta, tidak mencela, tidak berpikiran kotor, tidak menzalimi orang dan merusak alam dan lingkungan. Konsep-konsep etika yang berdimensi luas tersebut dilaksanakan oleh kaum muslimin dari seluruh penjuru dunia (Putuhena, dalam Mustari dan Fathurrahman (ed.), 2007).
Etika merupakan prinsip pokok dan misi dasar Islam yang diturunkan ke bumi ini (Siroj, 2006, 15). Misi dasar ini kemudian oleh berbagai kalangan, khususnya para mubalig, menyebutnya dalam berbagai kesempatan, yakni Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin. Idealisasi konsep atau misi dasar Islam tersebut justeru memperkokoh semangat Islam sebagai agama yang menawarkan solusi atas berbagai sejarah dekadensi moral, dan sebaliknya tuntutan-tuntutan yang bersifat pemaksaan, anarki, dan sebagainya berarti mengabaikan dimensi batiniah dan etis Islam.
Pemahaman tentang konsep etika dan akhlak dalam Islam dalam berhubungan dengan Tuhan dan manusia amat dikenal dan ditekankan dalam tradisi Islam. Dalam hal ini para ulama sufi yang menguasai ilmu syariat secara lahir (dikenal dengan fikih) dan secara batin (dikenal dengan tasawuf) biasanya sangat concern dalam menangkap dan mengembangkan pesan-pesan etika dan akhlak seperti ini termasuk dalam kaitannya dengan pengembangan dakwah Islam secara baik. Beberapa tokoh dan ulama yang mempunyai pandangan serupa atau sesuai dengan penjelasan terakhir adalah: Chittick (2002: 20-90); Sarraj, (2002: 23-40); Nicholson, (2003: 12) dan Schimmel (2003: 123-236).
Etika religius dalam Islam menekankan pentingnya pengenalan sang Maha Pencipta sebagai pilar utama. Sebagaimana awal agama adalah mengenal Tuhan, oleh karena itu pengenalan tentang Tuhan merupakan titik tolak etika secara keseluruhan dalam hubungannya dengan manusia (Muthahhari, 2004: 181-187). Oleh karena itu pula etika religius dalam Islam mencakup seluruh orang, baik Islam maupun non-Islam. Bila dalam Islam seseorang tidak boleh berbuat zalim maka kepada selain Islam pun tetap dilarang berbuat zalim. Dalam Islam, kebaikan dan keburukan tidak hanya ditentukan oleh rasio murni tetapi juga ajaran agama. Pandangan Islam ini juga merupakan antitesa dari pandangan Kant yang mengukur segala sesuatu baik dan buruk hanya dengan pertimbangan rasio. Bagi Kant, hukum moral yang universal adalah akal (Kant, 2005: 52-57; Kant, 1990: 448).
Etika sekuler cenderung mengabaikan individu atas nama kemanusiaan, agama menyapa subjek etika bertitik tolak pada pemahaman yang khas yaitu pengakuan akan dosa. Visi etika yang berporos pada manusia ini melihat manusia sebagai makhluk yang bebas dan bertanggung jawab. Visi ini walau kelihatan amat ideal namun menunjukkan kepercayaan diri yang berlebihan dan cenderung arogan. Sedangkan visi religius yang merupakan manifestasi dari etika religius akan membawa manusia pada kerendahan hati dan pengakuan diri sebagai makhluk yang lemah yang mungkin dan dapat jatuh ke dalam dosa dan kesalahan (Haryatmoko, 2003: 84).
Teori-teori yang telah dipaparkan secara singkat di atas baik yang bersumber dari Islam maupun dari luar Islam, sangat berguna untuk menganalisis penelitian ini. Pandangan-pandangan tentang kesucian dalam kehidupan sehari-hari, tentang ontologi Ketuhanan atau kehadiran Tuhan, yang dalam istilah Qardhawi (Qardhawi, 2007 : 11) bahwa pemahaman seseorang terhadap realitas Ketuhanan dalam beretika harus terejawantahkan dalam realitas kehidupan bermasyarakat, serta baik yang mendudukkannya sebagai bagian yang netral dari agama ataupun bagian yang terkait erat, demikian juga tentang nurani moral etis Levinas bahwa hidup bersama dengan yang lain sebagai kehidupan yang heteronomi (Kusmaryanto, 2006: 3; Riyanto, 2009: 6) dan lain sebagainya, akan mewarnai kajian selanjutnya. Karena ranah penelitian ini adalah ilmu filsafat, maka etika religius merupakan  kajian filsafat untuk memahami segala kenyataan secara mendalam (Kattsof, 2004: 131).

H. Metode Penelitian
1. Materi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dan bersifat kualitatif filsafati. Oleh karena itu sumber-sumber yang digunakan sebagai objek material penelitian ini adalah literatur-literatur, baik yang diterbitkan ataupun tulisan-tulisan dalam jurnal, majalah, bulletin dan manuskrip atau naskah yang memuat pemikiran Syekh Yusuf. Suatu manuskrip atau naskah dapat menjadi sumber referensi baik berupa naskah asli maupun naskah terjemahan selama itu dapat dipertanggungjawabkan (Kaelan, 2005: 60). Sumber-sumber primer adalah literatur-literatur yang berisi ajaran-ajaran umum serta ajaran-ajaran moral Syekh Yusuf. Sumber-sumber sekunder adalah literatur-literatur yang berisi atau berkenaan dengan aspek etika atau filsafat moral sebagai objek formal penelitian ini. Literatur-literatur tentang Sosiologi, Antropologi, Sejarah, Dakwah, Tasawuf, serta literatur-literatur Islam lainnya juga dipergunakan untuk memperkuat analisis serta memahami keterkaitan budaya dan sejarah Syekh Yusuf.
Setidaknya ada beberapa literatur dalam bentuk tulisan yang berisi tentang Syekh Yusuf yang diterbitkan, antara lain: Karya Tudjimah (1997), Hamid (2005), Lubis (1995), Azra (1994), Darusman (2008), Sultan (1989), Shihab (2000), Salam (2004), beberapa lagi di antaranya tidak diterbitkan dan ada dua puluh-an naskah baik yang berisi ajaran umum maupun ajaran moral Syekh Yusuf, yang dijadikan sebagai data primer, yakni: Al-Barakat Al-Saylaniyya (Berkah dari Ceylon), Bidayatul Mubtadi (Permulaan bagi sang Pemula), Al-Fawaih Al-Yusufiyyah fi Bayan Tahqiq Al-Sufiyyah (Kata-kata Syekh Yusuf tentang Menerangkan Hakikah Sufi), Hasiyah dalam Kitab al-Anbah fi I’rabi La ilaaha illallah, Kaifiyyat al-Munghi wal Ithbat bil Hadith al-Qudsi(Bagaimana Ucapan dan Menetapkannya dengan Hadis Qudsi), Matalib al-Salikin(Yang dicari oleh Salik), Al-Nafhat Al-Saylaniyya (Hembusan dari Sri Lanka), Qurrat al-Ain (Penyejuk Mata), Sirr al-Asrar (Rahasia segala Rahasia), Sura (Surat), Taj Al-Asrar fi Tahqiq Masrab al-Arifin (Mahkota Rahasia dalam Hakikat Tempat Minum yang Terpilih), Zubdat al-Asrar fi Tahkik Ba’d Masharib al-Akhyar (Sebagian Rahasia dalam Hakikat), Fath Kaifiyyat al-Dzikir (Keterangan bagaimana Cara Zikir), Daf’al-Bala (Penolak Bala), Hadhihi Fawaid Azima Dzikir La ilaaha illallah (Manfaat dari Zikir Laa ilaaha illallah), Muqaddimat al-Fawaid Allati ma la Budda min al-Aqaid (Mutiara-mutiara Pendahuluan yang Harus Diketahui diantara Kepercayaan), Tahsil al-Inayat wal Hidaya (Hasil Pertolongan dan Pimpinan),  Risalah Ghayat Al-Ikhtisar wa Nihayat al-Intizar (Risalah Tujuan Yang Tersingkat dan Akhir Yang Diharap), Tuhfat al-Amr Fi Fadilat al-Dzikir (Hadiah Tentang Kemuliaan Zikir), Tuhfah Abrar Li ahlil Asrar (Hadiah Orang orang Taat kepada Ahli Asrar),  Al-Wasiyyat al Munjiyya an Al-Mudarat al-Hijaiba(Wasiat Rahasia dari Kemelaratan yang Tersembunyi), Hablul Warid Lisaadat al-Murid(Pegangan yang Kokoh untuk Kebahagiaan Murid), Al-Futuhat al-Rabbaniyyah (Pembukaan Keilahian), Tuhfat al-Labib Biliqa al-Habib, (Barang Bernilai yang disimpan, dan Menemui yang dicintai), Safinat al-Najah (Perahu Kesuksesan), Al-Manhat al-Sailaniyya fi al-Manhat al-Rahmaniyya (Berkah Bumi Sri Lanka dalam Berkah Yang Maha Penyayang). Karya-karya tersebut, sudah diterjemahkan dan sebagian besar di antaranya penulis temukan melalui penelusuran di berbagai tempat. Penggunaan terjemahan karya-karya Syekh Yusuf pada penelitian ini adalah untuk menjadi bahan perbandingan, dengan pertimbangan bahwa hasil-hasil terjemahan ini merupakan karya yang dapat dipertanggung jawabkan karena dilakukan oleh penulis yang berkompeten di bidang kajian ini.
Pandangan-pandangan beberapa pemikir perlu juga di tempatkan di sini untuk memperjelas orientasi dan proses penelitian. Penelitian kepustakaan dengan mengambil pemikiran atau ajaran tokoh menempatkan sumber-sumber sekunder sebagai sumber bermanfaat, dengan demikian penulisan ini akan bersifat deskriptif analisis yang mendalam dan padat atau thick description (Geertz, 1973: 3-30). Pendekatan yang berbasis pada ontologi, epistemologi dan aksiologi dalam melihat tokoh serta karya-karyanya secara keseluruhan menjadi sangat penting dan merupakan dimensi pokok kajian kefilsafatan (Furchan dan Maimun, 2005: 23-37; Strauss dan Corbin, 2007).
Penelitian kualitatif pada umumnya berorientasi eksploratif, pengungkapan dan logika. Pendekatannya bersifat induktif yang berarti bahwa peneliti berupaya menyikapi suatu situasi dengan rasional. Metode ini menekankan pada pentingnya pemahaman makna dari perilaku manusia dan konteks sosio-budaya suatu interaksi sosial. Metode ini mengembangkan pemahaman empiris antara persepsi personal dan perilaku (Patton, 2006: 26).
Selanjutnya penelitian dengan topik utama tentang etika religius Syekh Yusuf ini akan merefleksikan keterkaitannya dengan dakwah Islam yang dikhususkan pada masalah materi atau issu dan metode dakwah di Indonesia karena pola-pola dakwah yang sedang berkembang sekarang ini tidak mencerminkan misi Islam. Metode adalah tahapan yang menentukan berhasil atau tidaknya gerakan dakwah untuk menjawab kebutuhan zaman yang semakin berubah, maka mengetahui segala aspek yang berhubungan dengan metode dakwah dari segi ontologis, epistemologis dan aksiologisnya menjadi amat penting (Sulthon, 2003: 1-2).
Pesan atau materi penyampaian dakwah juga merupakan hal yang penting, dengan penyampaian yang menarik, tepat dan baik maka pesan dakwah dapat ditangkap dan dipahami dan dilaksanakan dengan baik dan benar. Proses ini idealnya dilaksanakan dengan dakwah tanpa paksaan, provokasi, bujukan atau dengan pemberian sesuatu (Yusuf,  2003: 1). Dakwah hendaknya tampil secara aktual, faktual dan kontekstual. Aktual dalam arti bahwa dakwah dapat menjadi solusi untuk problema-problema masa kini yang terdapat ditengah-tengah masyarakat. Selanjutnya faktual, dalam artian nyata serta sesuai dengan kehidupan masyarakat, kontekstual yang berarti bahwa dakwah selayaknya relevan dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat (Yusuf, 2003: 1-10; Harits, 2006: 1).
Metode dan materi dakwah setidaknya harus memperhatikan tiga aspek penting yaitu pertama, dakwah bil hikmah atau kebijaksanaan, yaitu penyampaian dakwah harus dengan bijaksana. Kedua dengan mauizah hasanahyaitu dengan memberi pengajaran yang baik kepada yang didakwahi. Dan yang terakhir adalah mujadalah yaitu pembicaraan dialogis dalam bentuk tanya jawab, diskusi dan perdebatan (Suparta dan Hefni (ed.),  2003: 8-19).
Metode dan materi penyampaian dakwah harus menyadari bahwa hakekat dakwah adalah memberikan kebebasan dalam memilih berdasarkan pertimbangan rasional dan pesan universal yang akan membawa keselamatan bagi yang mengikuti seruan dakwah. Objek dakwah harus merasa bebas dari ancaman pihak manapun dalam kaitannya dengan penerimaan dakwah. Objek dakwah juga harus benar-benar yakin bahwa apa yang dipilihnya telah dipikirkan masak-masak. Sehingga ketika ia memutuskan untuk menerima sesuatu, ia telah yakin akan kebenaran sesuatu yang dipilihnya. Dakwah harus merupakan penjelasan yang menenangkan bagi kesadaran iman, akal dan hati sehingga ketiga hal ini tidak saling mengabaikan. Yang terakhir adalah bahwa pesan dakwah haruslah universal, yang mengajak pada kemaslahatan umat manusia (Suparta dan Hefni (ed.), 2003: 31-32). Dakwah harus memperhatikan titik temu dari masyarakat yang akan didakwahi, menunjukkan toleransi, memberikan contoh yang baik serta menjunjung tinggi etika.
Penelitian Mustari (1995 dan 2000) di Makassar dan Jakarta, telah menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara pemahaman metode dan materi dakwah yang tepat dengan keberhasilan dakwah yang ingin dicapai. Metode merupakan sarana dakwah untuk memberikan solusi bagi yang didakwahi, meningkatkan kepercayaan diri serta memberikan dorongan agar masyarakat yang didakwahi tidak menggantungkan diri pada orang lain. Oleh karena tugas yang penting inilah maka para aktivis dakwah harus mengetahui medan dakwah dan mengatur strategi metode dakwah agar dapat berhasil. Faktor-faktor yang paling utama yang harus dimiliki para aktivis dakwah agar berhasil dalam medan dakwah adalah konsistensi dengan perkataan, perbuatan dan keteladanan yang diberikan pada masyarakat yang didakwahi (Qutb, 1986).
Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, maka strategi kebudayaan dalam dakwah menjadi amat penting. Strategi kebudayaan dalam dakwah yang dimaksud adalah kerangka praktis yang melibatkan unsur-unsur kebudayaan seperti aspek sosial, ekonomi, politik, iptek, seni dan agama untuk mewujudkan cita-cita sosial suatu masyarakat. Jika cita-cita sosial tersebut diletakkan dalam konteks keagamaan, maka masyarakat ideal yang ingin diwujudkan dengan strategi kebudayaan adalah masyarakat agama atau masyarakat keagamaan. Oleh karena tujuannya bersifat keagamaaan, maka pendekatan strategi kebudayaan yang akan diterapkan harus pula bersifat dan berdasarkan agama. Karena dakwah Islam tidak hanya bersentuhan dengan kaum muslimin, maka metode dakwah Islam haruslah memperhatikan toleransi, etika Islam, membangun serta berorientasi pada esensi pesan Tuhan (Syamsuddin, 2000: 171-235).
2. Cara dan Alat Penelitian
Penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data yang dibutuhkan yang dicari di tempat-tempat atau sumber-sumber data dan bila memungkinkan, dilakukan analisis secara langsung. Setelah data dikumpulkan tahapan selanjutnya adalah membaca, mencatat, dan menandai sumber-sumber data dengan instrumen yang relevan untuk digunakan, seperti: kartu-kartu data, block note, dan ponsel komunikator yang dibawa setiap saat. Data-data yang sudah ditandai berupa ringkasan atau sinoptik, kata-kata kunci atau paraphrase, pencatatan secara quotasi dan lain-lain.
3.  Langkah Penelitian
Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam melaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.       Mengumpulkan sumber data berupa literatur atau buku-buku, naskah, serta karya-karya penting yang terkait, termasuk majalah atau jurnal, buletin, surat kabar, makalah, dan artikel yang berhubungan dengan penelitian, sambil melakukan diskusi, mencatat informasi, dan lain-lain baik yang berkenaan dengan Syekh Yusuf maupun aspek lain yang dimungkinkan bermanfaat dan relevan. Pekerjaan ini dilakukan, baik di perpustakaan, museum dan tempat-tempat yang dianggap memiliki keterkaitan dengan judul penelitian. Data-data yang diperoleh kemudian diklasifikasi atau diidentifikasi, direduksi atau diringkas dan didisplay, selanjutnya dideskripsikan secara padat dan mendalam. Metode ini diterapkan sejak persiapan penelitian, pelaksanaan pengumpulan data, serta analisis data.
b.      Menganalisis data yang dilakukan sejak tahapan pengumpulan data maupun pada tahap setelah pengumpulan data.
Sehubungan dengan objek penelitian yang dikaji berkaitan dengan teks, sejarah, keadaan individu dan sosial masyarakat, maka ada beberapa pendekatan atau metode yang akan digunakan. Metode-metode tersebut adalah: metode historis untuk analisis sejarah, dalam hal ini untuk menganalisa sejarah kelahiran, pendidikan dan kepribadian Syekh Yusuf. Kedua, metode verstehen untuk memahami data berdasarkan karakteristik masing-masing, terutama konsep-konsep karya Syekh Yusuf. Ketiga, metode interpretasi untuk menunjukkan arti, serta mengungkapkan pemikiran filosofis secara objektif. Keempat, metode hermeneutik untuk menangkap makna sesuai dengan konteksnya, khususnya konsep-konsep etika yang terdapat dalam seluruh karya Syekh Yusuf. Kelima, metode analitika bahasa untuk menganalisa konsep pemikiran dalam teks yang sifatnya terminologis. Keenam, metode abstraksi untuk melakukan analisis untuk menangkap makna sampai pada tingkat hakikat. Terakhir, metode intuitif dan metode heuristik untuk menemukan suatu jalan baru yang merupakan suatu pemikiran baru setelah melakukan penyimpulan, kritik atau menemukan suatu metode baru (Kaelan, 2005: 250-254; Suryo, 2006: 1-3).




Demikianlah Artikel SYEKH YUSUF AL-MAKASSARI

Sekianlah artikel SYEKH YUSUF AL-MAKASSARI kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel SYEKH YUSUF AL-MAKASSARI dengan alamat link http://macam2-artikel.blogspot.com/2015/12/syekh-yusuf-al-makassari.html
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : SYEKH YUSUF AL-MAKASSARI

0 komentar:

Post a Comment