Blog yang membahas tentang macam-macam artikel, makalah dan artikel unik dan lain-lain, Pendidikan, Kesehatan, Spikologi, Metode Pembelajaran, Kesenian, Dunia Islam dan menyajikan seluruh jenis artikel

Makalah Karya Senu Lukis Anak Sekolah Dasar

Makalah Karya Senu Lukis Anak Sekolah Dasar - Hallo sahabat Kumpulan Artikel dan Makalah, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Makalah Karya Senu Lukis Anak Sekolah Dasar, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel MAKALAH PENDIDIKAN, Artikel MAKALAH SENI, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Makalah Karya Senu Lukis Anak Sekolah Dasar
link : Makalah Karya Senu Lukis Anak Sekolah Dasar

Baca juga


Makalah Karya Senu Lukis Anak Sekolah Dasar



BAB I
A.Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan seni bertujuan mengembangkan kedewasaan diri anak didik yang utuh dan seimbang dengan cara memberikan perlakuan yang dapat merangsang kepekaan estetik dan kreativitas peserta didik. Dengan demikian untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan pengembangan estetik  melalui  pendidikan seni.
Dalam Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 (PP Nomor 19, 2005) tentang standar nasional pendidikan, masalah kepekaan estetik memperoleh penekanan dalam pengembangan kemampuan peserta didik melalui kelompok mata pelajaran estetika. Pada peraturan ini, kelompok mata pelajaran estetika yang harus dipelajari peserta didik mempunyai arah pengembangan untuk meningkatkan: (1) sensitivitas, (2) kemampuan mengekspresikan, dan (3) kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan mengapresiasi dan mengekspresikan keindahan serta harmoni mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga mampu menikmati dan mensyukuri hidup, maupun dalam kehidupan kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan kebersamaan yang harmonis (BSNP, 2006: 78-79).
Kegiatan melukis bagi anak-anak seusia anak sekolah dasar merupakan kegiatan naluriah dan menjadi kesenangan anak karena muncul atas desakan perkembangan emosi artistik yang bersifat kodrati. Melukis bagi anak-anak merupakan aktivitas psikologis dalam rangka mengekspresikan gagasan, imajinasi, perasaaan, emosi, dan /atau pandangan anak terhadap sesuatu. Anak melukis adalah menceritakan atau mengungkapkan (mengekspresikan) sesuatu yang ada pada dirinya secara intuitif dan spontan lewat media seni lukis (Soesatyo, 1994: 31).
Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan, disebutkan bahwa mengekspresikan diri melalui karya gambar ekspresif dan mengekspresikan diri melalui gambar imajinatif, dilaksanakan pada kelas satu semester dua, kelas dua semester satu dan semester dua, juga kelas tiga semester dua. 
Baca Juga :
Dalam konteks pendidikan, seorang pendidik harus mempunyai pengetahuan dan pemahaman  tentang makna karya seni lukis bagi peserta didik. Pengetahuan dan pemahaman ini diperlukan agar pendidik mampu memberikan bimbingan  dan menilai hasil belajar karya peserta didik . Hal ini  sesuai dengan kompetensi yang dituntut sebagai seorang guru  yaitu menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar. Penilaian proses antara lain melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan kompetensi peserta didik  (PP Nomor 19, 2005).
Penelitian ini didasarkan pada asumsi bahwa pemahaman guru-guru terhadap hakekat pendidikan seni terutama pelaksanaan pembelajaran seni lukis sekolah dasar belum mantap sehingga mereka cenderung   membimbing secara tidak tepat dan menilai secara subjektif. Karena kurangnya pemahaman tersebut, guru kurang berani dalam menilai karya anak. Dengan demikian masalah subjektivitas menjadi masalah yang  tidak dapat dihindari dalam penilaian karya lukis anak. Subjektivitas dalam penilaian karya seni lukis anak pada dasarnya disebabkan oleh kesulitan guru dalam menentukan kriteria penilaian, padahal pelajaran melukis bagi anak-anak adalah pelajaran yang menyenangkan. Untuk memecahkan permasalahan penilaian proses dan produk tersebut perlu digunakan pendekatan penilaian yaitu performance assessment.
 Subjektivitas dalam penilaian karya seni lukis anak pada dasarnya disebabkan oleh kesulitan guru dalam menentukan kriteria penilaian padahal pelajaran melukis bagi anak-anak adalah pelajaran yang menyenangkan. Hal ini diakui oleh  dua puluh orang guru yang dapat ditemui dalam studi awal penelitian ini.

2. Rumusan Masalah
Masalah   penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana spesifikasi instrumen   penilaian asesmen performan karya seni lukis anak di sekolah dasar?
2.      Bagaimana karakteristik instrumen penilaian asesmen performan karya seni lukis anak yang mencakup validitas, reliabilitas, dan keterpakaian  di  sekolah dasar?

3. Tujuan Penelitian
      Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1.  Mengembangkan spesifikasi instrumen  penilaian asesmen performan karya seni lukis anak di sekolah dasar.
2.  Menentukan kriteria penilaian asesmen performan karya seni lukis anak di sekolah dasar.

4. Ruang Lingkup Penelitian : Asesmen karya seni lukis anak
B. Kajian Teori
1.      Pengertian  Seni Lukis
Seni lukis merupakan bagian dari bidang seni rupa murni yang berwujud dua dimensi, sehingga seni lukis merupakan karya yang  terlepas dari unsur-unsur kegunaan praktis. Lebih jelas lagi seni lukis merupakan suatu pengucapan pengalaman artistik seseorang yang dicurahkan ke dalam bidang dua dimensi dengan menggunakan garis, warna, bidang, dan tekstur. Karya seni lukis yang juga sering disebut dengan lukisan, umumnya dibuat di atas kain kanvas berpigura dengan bahan cat minyak, cat akrilik, atau bahan lainnya. Objek dan gaya lukisan sangatlah beragam. Karya seni lukis bergaya naturalis (potret) dibuat persis seperti objek aslinya, seperti pemandangan alam, figur manusia, binatang, atau benda lainnya. Karya lukis bergaya ekspresionis (penuh perasaan) memiliki objek benda atau figur yang dibuat dengan garis dan warna yang bernuansa emosi pelukisnya. Lukisan bergaya abstrak berasal dari khayalan kreatif senimannya, bentuknya tidak nyata, tersamar, bahkan kurang dimengerti oleh orang awam, tetapi mengandung berbagai alternatif rupa yang baru (Sachari, 2004: 10).
Dalam pembuatan sebuah karya seni lukis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu elemen seni lukis (garis, bidang, ruang, tekstur, warna, dan kaidah-kaidah komposisi.

2. Seni Lukis bagi Anak Usia Sekolah Dasar
a.      Seni Lukis sebagai Cerminan Isi Jiwa
Mencermati lukisan anak dan cara mereka menggambarkan lingkungannya, dapat memberikan suatu pandangan tingkah laku dan apresiasi pertumbuhan dan perkembangan bervariasi yang dialami anak. Dengan lukisan anak dapat dibaca jiwa dan kehidupan anak-anak yang bersifat polos. Goresannya spontan dan bebas: miring kesana kemari. Penggunaan warna sesuai dengan suasana hatinya, sangat berani: merah kuning, biru, hitam dan seterusnya. Apa yang dituangkan dalam tema lukisannya adalah apa yang dilihatnya sesuai dengan lingkungan hidup yang nyata dan khayalnya, sesuai dengan “kacamata” anak.
Dalam proses melukis, anak tidak ada rasa takut. Kegiatan seni di samping penting bagi perkembangan kognitif juga memberikan rangsangan bagi pertumbuhan persepsi, emosional, social, dam krativitas anak. Dengan kegiatan ini perlu diketahui apa yang dapat dikembangkan pada diri anak secara maksimal, karena lukisan anak itu sendiri mencerminkan segi kejiwaan anak.
Peran pendidikan seni yang multi dimensional pada dasarnya dapat mengembangkan kemampuan dasar manusia, seperti fisik, perceptual, intelektual, emosional, social, kreativitas, dan estetik (Lowenfeld, 1982) Demikian juga pada multiple intelegences Gardner’s yang membagi karakteristik kecerdasan menjadi sembilan jalur yaitu: verbal/linguistic, interpersonal, visual/spasial, logical/mathematical, naturalist, kecerdasan spiritual, yang dapat diterapkan pada lukisan anak-anak. Dalam kegiatan melukis, akan terlihat keterlibatan segi kejiwaan anak sehingga mencerminkan kondisi kejiwaan anak.

b.      Ciri Seni Lukis Anak
Anak berbuat dan berkarya atas dasar daya nalar anak. Mereka mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam ujud karya seni rupa atau lukisan tanpa terbatas pada apa yang terlihat dengan mata kepala saja, melainkan lebih pada apa yang mereka mengerti, pikirkan atau khayalkan. Perkembangan menggambar anak menurut Ricci  (1960: 302-307):
The child starts drawing with an “interlacing network of lines” and then moves on to simple representational foms which become more detailed with age. He recognized in these simple forms that the child draws a description of the subject according to his knowledge of that subject and not according to its visual appearance.

Dengan demikian anak menggambar mulai yang paling sederhana yaitu dengan garis-garis dan berkembang menjadi bentuk-bentuk yang representasional dan detail sesuai dengan perkembangan usia sesuai dengan pengetahuannya sendiri bukan menurut penampakan visual. 
Banyak sedikitnya unsur pada lukisan sangat tergantung pada keasyikan pemikiran dan fantasinya, lebih banyak yang akan mereka ceritakan maka lebih banyak pula bentuk yang akan dimunculkannya. Dengan penalaran anak wajar dan spontan maka hasilnya tampak sungguh naif. Ungkapan pribadinya muncul melalui bentuk-bentuk dengan makna simbolik tertentu, intuitif, dan lebih dekat pada sifat bermain.
Selanjutnya, sesuai pendapat para ahli (Lansing, 1976: 138-139), perkembangan gambar anak pada dasarnya dapat disederhanakan menjadi tiga tahap pokok: (1) tahap coreng-moreng (umur dua sampai empat tahun), (2) tahap figurative (umur tiga sampai dua belas tahun), dan (3) tahap keputusan artistic (umur dua belas tahun ke atas).

c.  Seni Lukis sebagai indikator gambar ekspresi dalam KTSP
Dalam kurikulum KTSP, mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan adalah nama dari kelompok mata pelajaran estetika yang dilaksanakan pada tingkat sekolah dasar. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19  (Peraturan Pemerintah, 2005) disebutkan tujuan mata pelajaran Seni Budaya dan Ketrampilan adalah untuk meningkatkan sensitifitas, kemampuan mengekspresikan dan kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni. Dalam mata pelajaran tersebut, dua kegiatan yang saling terkait satu sama lain yaitu apresiasi dan kreasi, termasuk di dalamnya yang bersifat rekreatif  (performance).
Kegiatan apresiasi, dimaksudkan melatih perkembangan kepekaan rasa estetik peserta didik. Peserta didik berperan sebagai pengamat yang menghayati gejala keindahan yang ada dalam karya seni kemudian menanggapinya. Dalam hal ini tentunya keterlibatan intelektual dan pengalaman estetik peserta didik sangat berperan.
Kegiatan kreasi mempunyai makna menciptakan karya seni yang baru, sedangkan rekreasi menampilkan/menggelar karya seni. Pada kegiatan ini peserta didik secara aktif menghasilkan suatu karya seni (lukisan, ilustrasi, relief, dan sebagainya)). Dalam hal ini keterlibatan intelektual peserta didik sangat dominan. Misalnya dalam pembuatan karya seni lukis dikenal adanya aspek bentuk yang diubah menjadi struktur. Hal ini memerlukan  kerja intelektual. Jacques Maritain dalam Sumardjo (2000: 51) menyebutkan adanya ekspresi intelektual yang diperlukan untuk mengubah bentuk menjadi struktur.
Standar  Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran Seni Budaya dan Kerajinan Sekolah Dasar berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006  yang meliputi kegiatan apresiasi dan kreasi. Pada kompetensi dasar disebutkan bahwa mengekspresikan diri melalui karya gambar ekspresif dan mengekspresikan diri melalui gambar imajinatif, dilaksanakan pada kelas satu semester dua, kelas dua semester satu dan semester dua, juga kelas tiga semester dua.  

3.   Karakteristik Penilaian dalam Pendidikan Seni
Penilaian seni lukis anak meliputi penilaian proses dan penilaian hasil atau produk. Dengan demikian untuk memecahkan permasalahan penilaian proses dan hasil karya peserta didik tersebut perlu digunakan pendekatan penilaian yaitu performance assessment.
Dengan melakukan kegiatan asesmen  dapat diketahui perubahan yang terjadi pada anak didik. Sedangkan penilaian kinerja (performance assessment) menurut Berk sebagai berikut: performance assessment is the process of gathering data by systematic observation for making decisions about an individual (Berk, 1986: ix). Ada lima unsur-unsur kunci dalam definisi yang dikemukakan oleh Berk, yaitu:
1. Performance assessment is a process, not a test or any single measurement device. 2. The focus of this process is data gathering, using a variety of instruments and strategies. 3. The data are collected by means of systematic observation. 4. The data are integrated for the purpose of making specific decisions. 5. The subject of the decision making is the individual, usually an employee or a student, not a program or product reflecting a group’s activity. (Berk, 1986: ix).

Selanjutnya Berk mengatakan bahwa dalam Performance assessment selalu  terkait dengan adanya rubrik penilaian yang merupakan bagian dari  Performance assessment: Subsumed under the rubric Performance assessment are a host of other related terms that are often used synonymously with it.
Melengkapi pendapat tersebut, Zainul (2005: 4) menyatakan bahwa asesmen kinerja secara sederhana didefinisikan sebagai penilaian terhadap proses perolehan, penerapan, pengetahuan dan ketrampilan, melalui proses pembelajaran yang menunjukkan kemampuan peserta didik dalam proses dan produk.  
a.      Penilaian Proses Karya Seni Lukis
Tujuan penilaian proses karya adalah untuk mengamati kompetensi peserta didik dalam berkreasi membuat karya seni lukis. Menurut Conrad (1964: 271) the processes of evaluation help to build guides and to define and clarity the purposes and accomplishments of the educational processes.In art education, the evaluation prosesses are natural parts of art activity.Karena proses penilaian membangun bimbingan terhadap peserta didik dan memperjelas tujuan dan pemenuhan dalam proses pembelajaran, maka penilain proses sangat diperlukan apalagi proses penilaian merupakan bagian yang alami dari aktivitas seni. 
Sesungguhnya kemampuan-kemampuan peserta didik yang dikembangkan dalam pendidikan seni rupa lebih banyak dalam bentuk penampilan yang sulit diukur dengan  tes, yaitu terutama penampilan-penampilan peserta didik dalam aspek afektif dan psikomotorik. Dengan instrumen teknik non tes akan diperoleh data  akurat dengan tidak kehilangan aktivitas yang dilakukan oleh peserta didik. Non tes  digunakan tatkala pengertian evaluasi tidak sekedar identik dengan testing tetapi mempunyai pengertian yang lebih luas yaitu suatu proses penentuan nilai-nilai fenomena-fenomena yang secara edukasional relevan (Eisner, 1972: 204).
b.      Penilaian produk karya seni lukis
Pada prinsipnya tujuan penilaian produk seni lukis adalah untuk melihat kompetensi peserta didik dalam membuat karya cipta seni lukis. Dalam hal ini pendidik memfokuskan perhatiannya pada hasil karya lukis yang diciptakan oleh peserta didik yang tentunya tidak terlepas dari proses penciptaannya. Oleh karena  itu  kegiatan  penilaian memerlukan kriteria. Conrad (1964: 271) menjelaskan bahwa:
Evaluation criteria are not rigid. New criteria must be formulated for each group of children because children are constantly growing and changing in their thinking, their abilities, and their knowledges. The processes of evaluation help to build guides and to define and clarity the purposes and accomplishments of educational processes.

 Dengan demikian penetapan kriteria harus disesuaikan dengan perkembangan  usia anak dan kriteria tidak bersifat kaku.
Kriteria untuk melakukan penilaian produk karya seni lukis      cukup sulit  karena adanya keragaman cara pandang terhadap  karya seni.   Salah satunya pendapat Aspin dalam Ross (1982: 66) yang menyatakan bahwa: Work of art is correctly described as “unique particulars”, but the description prompts the question: how can something which is unique generate criteria for evaluating other unique objects?  Sifat unik ini   mempunyai sifat  satu-satunya dan hanya berlaku untuk karya tersebut sehingga   sulit menerapkan kriteria yang sama   untuk menilai  karya yang lain.
Perdebatan-perdebatan yang sering terjadi karena perbedaan pemahaman, meminjam dari penilaian kritik, Pepper (1973: 451) berpendapat bahwa bisa saja perbedaan yang terjadi disebabkan oleh pandangan kontekstual yang tidak sama, karena masing-masing kepentingan tidak ada titik temu. Disini penilaian dapat dilihat sebagai suatu proses intersubjektif, dan setiap proses intersubjektif selalu mendatangkan konflik. Namun demikian, Heyfron (1986: 56) berpendapat bahwa:
that the arts are not fundamentally different  from other subjects in the curriculum (e.g. science) and that a high degree of consensus about criteria appropriate for judging art work is not only conceptually consistent with the notion of art, but also practicably desirable. It contends that judgements about the merits of art work can be justified with reference to publicly agreed criteria.

 Hal ini menunjukkan bahwa penilaian dari suatu pekerjaan seni tidak hanya konsisten secara konseptual tetapi diperlukan juga praktisnya. Baik buruknya pekerjaan seni dibenarkan dengan adanya referensi  dari kriteria-kriteria yang disetujui oleh khalayak umum.
Lebih jauh lagi dalam dokumen APU (“Aesthetic Development”, 1983: 5) menyebutkan bahwa:  What matters most in the arts as in science, is that judgements and interpretations should be informed with considerable consensus about the criteria to be applied when determining quality. Dengan demikian pada waktu menentukan kualitas karya diperlukan kriteria-kriteria yang merupakan konsensus dan sudah dipertimbangkan   terlebih dahulu.

4.  Validitas dan Reliabilitas Instrumen Pengukuran
Validitas dan reliabilitas merupakan hal utama yang harus dipenuhi untuk  menentukan kualitas suatu instrumen penilaian.
a. Validitas
Validitas instrumen dapat dimaknai sebagai ketepatan dalam memberikan interpretasi terhadap hasil pengukurannya. Sesungguhnyalah persoalan validitas instrumen berhubungan dengan pertanyaan, apakah suatu instrumen mampu menggambarkan ciri-ciri, sifat-sifat, atau aspek apa saja yang akan diukur, sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.  
Relevans dan accuracy, adalah dua makna yang terkandung dalam konsep validitas. Relevans menunjuk pada kemampuan instrumen untuk memerankan fungsi untuk apa instrumen dimaksudkan. Sedangkan accuracy menunjuk pada ketepatan instrumen mengidentifikasi aspek-aspek yang akan diukur secara tepat, menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
Secara umum terdapat tiga macam validitas, yaitu validitas konstruk (construct validity), validitas isi (content validity), dan validitas criteria (criterion-related validity). (Kerlinger, 2000: 686; Babbie, 2004: 144-145). Validitas konstruk menunjuk pada sejauh mana instrumen yang disusun mampu menghasilkan butir-butir pertanyaan yang dilandasi oleh konsep teoritik tertentu. Validitas konstruk disusun berdasarkan pada konsep teori yang sudah mapan dan pertimbangan-pertimbangan yang rasional.  Untuk memantapkan validitas konstruk dibutuhkan expert judgment yaitu masukan, pertimbangan, dan kritik dari para ahli terkait. Validitas isi berhubungan dengan kemampuan instrumen untuk menggambarkan secara tepat domain prilaku yang diukur. Ada dua makna dalam validitas isi yaitu, validitas butir dan validitas sampling. Validitas isi berhubungan dengan pertanyaan seberapa jauh butir-butir instrumen mencerminkan keseluruhan isi dari aspek yang hendak diukur. Langkah selanjutnya pada validitas isi adalah menjabarkan dalam aspek yang terperinci selanjutnya didiskripsikan indikator-indilkatornya. Selanjutnya dimintakan pertimbangan kolega atau ahli yang berkompeten melalui forum diskusi antar ahli (focus group discasion), untuk memperoleh masukan, saran, kritik, dan evaluasi guna menyempurnakan instrumen yang disusun.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa untuk pengembangan afektif dapat digunakan  semua jenis validitas atau salah satu jenis validitas. Pada penelitian ini digunakan validitas isi dan validitaas konstruk.
b.  Reliabilitas
Reliabilitas instrumen menunjukkan tingkat kestabilan, konsestensi, keajegan, dan atau kehandalan instrumen untuk menggambarkan gejala seperti apa adanya. Secara konsep instrument yang reliabel adalah apabila digunakan terhadap subjek yang sama akan menunjukkan hasil yang sama, walaupun dalam waktu dan kondisi yang berbeda.

Salah satu pendekatan dasar untuk mengukur reliabilitas adalah stabilitas. Stabilitas diperoleh dengan mengkorelasikan skor siswa dari dua kali pelaksanaan tes, menggunakan korelasi intraklas (interclass correlation). Penggunaan korelasi intraklas dimaksudkan untuk memberikan indeks mengukur kesamaan pasangan skor dalam hubungannya dengan variabilitas total dari seluruh skor (Fernandes, 1984:35). Cara lain untuk menilai reliabilitas adalah dengan menggunakan teknik intereter yaitu, dua peneliti menggunakan alat ukur yang sama untuk mengukur kemampuan seseorang kemudian hasil pengukuran tersebut dikorelasikan.

artikel Terkait :



Demikianlah Artikel Makalah Karya Senu Lukis Anak Sekolah Dasar

Sekianlah artikel Makalah Karya Senu Lukis Anak Sekolah Dasar kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Makalah Karya Senu Lukis Anak Sekolah Dasar dengan alamat link https://macam2-artikel.blogspot.com/2016/01/makalah-karya-senu-lukis-anak-sekolah.html
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Makalah Karya Senu Lukis Anak Sekolah Dasar

0 komentar:

Post a Comment