Judul : MAKALAH TASAWUF
link : MAKALAH TASAWUF
MAKALAH TASAWUF
Wacana tasawuf mengarahkan pikiran kita pada orang-orang saleh, banyak ibadah, menjaga tingkah laku pergaulannya dengan Allah SWT., dengan sesama manusia, dengan mahluk lain dan selalu ingin dekat dengan Allah pencipta semua mahluk. Namun demikian istilah ini merupakan istilah yang disandarkan pada sebuah gerakan batiniah dalam usaha untuk mendekkatkan diri seorang hamba kepada sang Khalik.
Terdapat perbedaan pendapat berkaitan dengan kemunculan tasawuf dalam Islam. Ada yang berpendapat bahwa tasawuf baru muncul dalam Islam pada akhir abad ke II Hijriyah atau awal abad ke III Hijriyah, kelompok lain berpendapat bahwa praktek kehidupan sufi sudah ada sejak awal kemunculan Islam yang tercermin dalam kehidupan Nabi SAW., dan para sahabat serta jalan hidup yang ditempuh oleh beberapa kelompok di Madinah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakanng yang dipaparkan diatas, maka penulis mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana definisi tasawuf?
2. Bagaimana sejarah munculnya tasawuf dalam Islam?
3. Bagaimana inti ajaran tasawuf?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf
Wacana tasawuf mengarahkan pikiran kita pada orang-orang saleh, banyak ibadah, menjaga tingkah laku pergaulannya dengan Allah SWT., dengan sesama manusia, dengan mahluk lain dan selalu ingin dekat dengan Allah pencipta semua mahluk. Namun demikian istilah ini merupakan istilah yang disandarkan pada sebuag gerakan batiniah dalam usaha untuk mendekkatkan diri seorang hamba kepada sang Khalik. Untuk lebih mengetahui apa tasawuf itu, terlebih dahulu perlu diketahui pengertiannya.
1. Pengertian tasawuf secara etimologi.
Asal istilah tasawuf merujuk ke beberapa kata:
a. صفى artinya suci bersih.[1] Dalam pengertian ini orang yang ingin dekat dengan Allah SWT., aktifitasnya banyak diarahkan pada pensucian diri dalam rangka dekat dengan Allah swt. Artinya Allah maha Suci tidak mungkin bisa didekati kecuali oleh orang-orang yang memelihara kesucian. Bishr bin al-Harith berkata:”sufi adalah orang yang hatinya suci/tulus kepada Allah.[2]
b. صف artinya barisan atau barisan terdepan.[3] Orang yang ingin dekat dengan Allah, pasti sudah kuat imannya. Oleh karena itu selalu ada pada barisan terdepan dalam hal ibadah.[4]
c. اهل الصفة artinya penghuni serambi (masjid). Istilah ini disandarkan kepada orang yang ingin selalu dekat dengan Allah SWT., maka mereka ikut juga hijrah dengan Nabi dari Mekah ke Madinah. Di Madinah merreka tinggalnya di serambi masjid.[5]
d. صوف artinya wol, bulu binatang kasar. Orang yang selalu dekat dengan Allah swa., hanya memakai alat berpakaian bulu binatang yang kasar, domba, unta dan sebagainya, ini hanya pandangan saya karena kaum sufi tidak mencirikan dirinya dengan memakai pakaian dari bulu.[6]
e. Pendapat yang lain mengatakan bahwa istilah Tasawuf derasal dari bahasa Yunani yaitu Sophos atau Shofia artinya hikmah atau bijaksana. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas kaum orientalis. Ahli-ahli sofia adalah orang yang ahli dalam filsafat atau kebijaksanaan. Mereka menambahkan bahwa dalam tradisi Arab kata sofia direduksi menjadi kata shufiya untuk menunjukkan kepada orang-orang ahli ibadah dan ahli filsafat agama.[7]
Dari limat pendapat di atas, maka secara etimologis kata tasawuf lebih dekat dengan kata صوف. Sebagaimana pendapat Ibn Khaldun bahwa kata Sufi merupakan kata jadian dari kata Suf. Tapi perlu diingat, bukan sekedar karena ia memakai pakaian yang terbuat dari kain bulu dan wol kasar maka seseorang disebut sufi. Seseorang menggunakan wol hanya sebagai symbol kesucian, mereka menyiksa dan menekan hawa nafsu dan berjalan di jalan Nabi.[8]
2. Pengertian tasawuf secara terminology
Ada banyak definisi yang telah dibuat oleh untuk menjelaskan pengertian tasawuf secara terminology. Berikut beberapa diantaranya:
Menurut Abu Qasim al-Qusyaeri (376-466), tasawuf ialah penjabaran ajaran Alquran, sunnah, berjuang mengendalikan hawa nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat, dan menghindari sikap meringankan ibadah.[9]
Menurut Ahmad Amin tasawuf ialah bertekun dalam ibadah, berhubungan langsung dengan Allah SWT., menjauhkan diri dari kemewahan duniawi, berlaku zuhud terhadap yang diburu oleh orang banyak, dan menghindari dari mahluk dalam berkhalwat untuk beribadah.[10]
Sedang tasawuf menurut Zakaria al- Anshari ialah mengajarkan cara untuk mensucikan diri, meningkatkan akhlak, berlaku zuhud terhadap yang diburu oleh orang banyak, dan menghindari dari mahluk dalam berkhalwat untuk beribadah mendekatkan diri kepada Allah dan memperoleh hubungan langsung dengannya.[11]
Dan menurut Ibrahim Hilal dalam bukunya ‘Tasawuf Antara Agama dan Filsafat’, bahwa tasawuf pada umumnya bermakna menempuh kehidupan zuhud, menghindari gemerlap kehidupan dunia, rela hidup dalam keprihatinan, melakukan berbagai jenis amalan ibadah, melaparkan diri, mengerjakan shalat malam, dan melakukan berbagai jenis wirid sampai fisik atau dimensi jasmani seseorang menjadi lemah dan dimensi jiwa atau ruhani menjadi kuat.[12]
Apabila melihat beberapa definisi diatas, maka dapat diperoleh ungkapan yang singkat dan padat yang mencakup dua segi yang keduanya membentuk satu kesatuan yang saling menunjang dalam mendefinisikan tasawuf yang pertama adalah cara dan yang kedua adalah tujuan. Cara, diantaranya melaksanakan berbagai rangkaian peribadatan, latihan-latihan rohani sepeerti zuhud. Sedangkan tujuannya ialah mendekatkan diri kepada sang Khalik yang puncaknya ialah penyaksian (masyadah).
B. Sejarah Muncul dan Berkembangnya Tasawuf
Istilah tasawuf dikenal secara luas di kawasan Islam sejak penghujung abad ke-dua Hijriyah, sebagai perkembangan lanjutan dari kesalehan asketis atau para zahid yang mengelompok di serambi mesjid Madinah. Dalam perjalanan kehidupan, kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi.[13]
Pola hidup kesalehan yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesat. Fase ini dapat disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama perkembangan tasawuf yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat, sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah. Fase asketisme ini setidaknya berlangsung hingga abad ke-dua Hijriyah. Memasuki abad ke-tiga Hijriyah sudah terlihatadanya peralihan dari asketisme Islam ke sufisme.[14]Tetapi menurut mayoritas penulis sejarah tassawuf mengatakan bahwa embrio atau benih tasawuf dalam dunia Islam sudah Nampak dalam diri Nabi Muhammad SAW., baik jika melihat aspek kehidupan, akhlak serta ibadah Beliau.
Untuk lebih mengetahui sejarah munculnya tasawuf dalam Islam berikut penulis memaparkan indikasi-indikasi yang menjadi dasar lahirnya gerakan ini yang dimulai dari kehidupan para sahabat Rasul hingga menjelang akhir abad ke-dua Hijriyah.
1. Tasawuf Pada Masa Sahabat Nabi, Atau Khulafa’ Al-Rasyidin Dan Ahla Suffah
Untuk melihat lebih jauh bagaimana perkembangan tasawuf pada masa ini, diuraikan kehidupan beberapa sahabat nabi sebagai berikut :
a. Kehidupan Khulafa’ al-Rasyidin
Perkembangan tasawuf sangat nampak dalam kehidupan para khulafa’ al-rasyidin berikut ini :
1) Abu bakar as-Siddiq (w. tahun 13 H)
Sebelum beliau masuk Islam ia adalah seorang pedagang besar yag jujur di zamannya. Setelah ia memeluk agama Islam, maka dia berstatus donatur tetap dalam semua aktifitas agama, maka semua kekayannya disumbangkan demi kepentingan dan syiarnya agama Islam. Kejujuran dan kesucian hatinya menyebabkan beliau dapat mendalami jiwa dan semangat Islam lebih dari yang didapat para muslimin yang lain.[15]
2) Umar bin Khattab (w. tahun 23 H)
Beliau memiliki kewibawaan dan kharismatik yang kuat, baik sebelum dan sesudah masuk Islam. Dan sebelum dan sesudah menjabat khalifah, beliau selalu tampil dengan bersahaja. Beliau dikenal sangat adil, mempunyai keberanian yang kuat, dekat dengan kalangan bawah, dan sangat takut mengambil harta kekayaan negara (amanah). Beliau adalah profil pemimpin yang sejati dan sukses.[16]
3) Usman bin Affan (w. tahun 25 H)
Beliau adalah konglomerat dizamannya, ia selalu tampil sebagai penyandang dana, beliau rela menyerahkan sebahagian besar harta bendanya demi perjuangan Islam, beliau selalu membebaskan budak-budak yang teraniaya oleh orang-orang kafir yang ditebus dengan hartanya sendiri.[17]
4) Ali bin Abi Thalib (w. tahun 40 H)
Beliau yang paling zuhud dalam hidupnya, paling luas wawasannya tentang ilmu pengetahuan Beliau sangat luhur budi pekertinya, terkenal kesalehannya, dan juga kebersihan jiwanya.[18]
Dengan contoh-contoh akhlakul karimah seperti yang menjadi kepribadian khulafa’ al-Rasyidin itulah yang dipedomani oleh orang-orang sufi dan orang-orang saleh yang ingin memperaktekkan dan memperbanyak amalan-amalan ibadahnya dan melatih jiwanya untuk dekat dengan Allah SWT.
b. Kehidupan Para Ahli Suffah
Kehidupan ahli suffah yang memperlihatkan praktik-praktik ketaatan dapat uraikan sebagai berikut :
1). Salman al-Frisiy (w. 32 H)
Dikalangan ahli tasawuf Salman al-Farisy di kenal sebagai seorang sahabat yang hidupnya zuhud, suka mengembara dan hidup dalam kemiskinan, beliau di anggap sebagai ahli Suffahyang dikarunai ilmu-ilmu ladunni yang dalam.[19]
2). Abu Zar al-Gifariy (w. 22 H)
Salah satu sahabat Nabi yang paling zahid sabar adalah Abu Zar al-Gifariy. Beliau tidak pernah merasa menderita bila ditimpa musibah, senang menerima cobaan, dan tidak pernah memiki apa-apa, dan tidak dimiliki oleh apa-apa. Abu Zar al-Gifariy menganggap cobaan itu sebagai perhatian Tuhan kepadanya, sehingga ia selalu bersyukurdan bertahmid.[20]
Pernyataannya tentang cobaan Tuhan adalah “Sesungguhnya saya menyadari bahwa kemiskinan itu lebih kusukai dari kekayaan, kesakitan lebih kusukai dari pada kesehatan, kematian lebih kusukai dari pada kehidupan”.
Dari uraian di atas, maka perkembangan tasawuf abad ini yaitu pada masa Nabi, khulafa’ al-Rasyidin, dan masa ahlu Suffah, nampaknya istilah atau term penggunaan tasawuf untuk kehidupan rohani memang belum ada, tetapi tidak bisa di pungkiri faktanya bahwa Nabi dan para sahabatnya adalah praktisi yang dijadikan teladan para sufi sesudahnya.
Dengan demikian kehidupan Nabi dalam segala hal di anggap, sebagai embrio yang selanjutnya tumbuh dan dikembangkan oleh para sahabat khulafa’ al-Rasyidin dan ahluSuffah yang dianggap sebagai pelaku-pelaku ibadah yang konsisten mementingkan kehidupan rohani seperti yang dicontohkan oleh Nabi dan selanjutnya diikuti oleh orang-orang shaleh dan orang-orang sufi abad berikutnya.
2. Munculnya Kehidupan zuhud
Dari kondisi politik yang tidak kondisif, dan dari kondisi sosial yang tidak bermoral, maka muncul kaum muslimin yang merasa punya kewajiban moral mengingatkan penguasa, rakyat agar kembali pada kehidupan seperti yang dicontohkan Nabi.
Hal ini dipertajam lagi oleh Nurchalis Madjid bahwa dampak dari perubahan-perubahan itu menimbulkan adanya beberapa orang yang merasa bahwa Islam saat ini sudah tidak lagi seperti pada masa Nabi, khulafa’al-Rasyidin sehingga menimbulkan letupan-letupan dan kritikan-kritikan terhadap penguasa Umaiyyah yang wujudnya berbentuk oposisi keagamaan terhadap rezim Umayyah.[21]
Kaum muslimin yang punya keperdulian itu dikenal sebagai tokoh zahid, artinya orang yang menjauhi kehidupan duniawi yang ingin melihat rakyat menjadi aman. Tokoh-tokoh zahid yang termasyhur antara lain seperti Hasan al-Basri (w. 728 M). Beliau banyak mempelajari ilmu yang sifanya moralitas sehingga ajaran itu sangat mempengaruhi pola pikiran, sikap dan perilakunya sehari-hari, dan dia juga dianggap sebagai tokoh oposisi moral. Karena beliau berani mengirim surat kepada penguasa Abd. Malik Bin Marwan menuntut agar penguasa dapat memberikan hak dan kebebasan pada rakyat.[22] Selain Hasan al-Basri, masih banyak lagi tokoh-tokoh yang zahid seperti Sufyan as-Sauriy (w. 135 H), Malik bin Dinar (w. 171 H) dan lain sebagainya.
Perkembangan term tasawuf pada masa ini (abad I memasuki awal abad II H) masih terlihat belum jelas wujudnya. Istilah-istilah yang dikenal pada masa ini hanyalah kehidupan zuhud’, artinya suatu sikap jiwa yang lebih memilih dan menyukai kehidupan akhirat dan memperbanyak ibadah dari pada hidup keduniaan[23].
Memasuki akhir abad II H, terlihat adanya peralihan kehidupan zuhud ke istilah tasawuf. Hal ini di tandai dengan adanya para zahid-zahid yang mulai membicarakan konsep-konsep mengenai kehidupan yang berdimensi spiritual. Sekalipun sangat sulit membedakan secara tepat dan pasti adanya peralihan itu, tapi secara umum pendapat yang mengatakan bahwa adanya kecenderungan membicarakan konsep tasawuf termasuk di dalamnya cara untuk kepada Tuhan maka masa tersebut dinamai masa peralihan.
Nicholson mengatakan bahwa sulit membedakan antara hidup zuhud dan hidup kesufian, sebab umumnya orang sufi masa ini tadinya atau sebelumnya adalah orang-orang zahid. Hal ini dipertajam oleh Taftazani bahwa mereka lebih layak dinamai zahid daripada “sufi”[24].
Tokoh-tokoh zahid akhir abad II H, dan sudah mempunyai konsep tentang oleh rohani antara lain diwakili oleh Rabiahtul Adawiah, seorang zahid perempuan yang telah mengukir lembaran sejarah tasawuf dengan membawa versi baru yang bernama hubb (cinta).
Pada abad II H, dalam kehidupan spiritual telah terjadi transformasi, dari metode zuhud ke metode tasawuf, yang di tandai dengan munculnya tokoh-tokoh sufi yang menawarkan suatu konsep atau gagasan yang berbentuk teori sebagai suatu cara untuk berdekatan dengan Allah, seperti Rabiahtul Adawiyah dengan konsep mahabbah atau cintanya.[25]
Adanya term tasawuf pada akhir abad II H, tapi itu tidak berarti telah lahir sistem tasawuf sebagai suatu ilmu yang walaupun praktenya telah ada sejak masa Rasulullah. Namun ketika memasuki abad ke III H., perkembangan tasawuf sudah mulai jelas dan istilah tasawuf sudah dikenal secara meluas. Perkembangan tersebut disebabkan prinsip-prinsip teoritisnya sudah mulai tersusun secara sistimetis, demikian pula aturan-aturan praktisnya, sehingga melahirkan tiga macam corak tasawuf yaitu: tasawwuf akhlaki, tasawuf amali, dan tasawuf falsafi.[26]Pada masa inilah tasawuf mencapai puncak keemasannya sebagai sebuah gerakan yang banyak dikaji dan diamalkan/dipkraktikkan sebagai prinsip hidup.
C. Faktor-Faktor Penyebab Mundurnya Tasawuf
Ulama peneliti muslim menarik suatu kesimpulan bahwa ada 3 faktor penyebab citra tasawuf runtuh dimata dunia Islam.
1. Banyak sufi-sufi yang menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya, mereka tidak tunduk pada aturan syariah sebab mereka sudah menganggap dirinya sudah mencapai tingkat /maqamat yang tinggi yaitu ma’rifah. Kebanyakan sufi mendominasi ajaran tasawufnya dengan unsur-unsur filsafat yang terlalu rasional sehingga tidak lagi relevan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
2. Kondisi atau era waktu itu di dominasi oleh penjajah bangsa Eropa yang menguasai Negara Islam, banyak menggunakan faham dan filsafat sekularisme dan materialisme yang sangat bertentangan dengan ajaran tasawuf.
3. Pendapat lain mengatakan bahwa pihak-pihak penguasa muslim itu sendiri sering menekan para ulama, untuk melegalkan dan membantu dalam menjalankan kekuasaannya. Satu hal yang perlu diingat bahwa mundurnya tasawuf bukan karena ajaran tasawuf itu sendiri tapi karena manusia yang salah mengakses dan memahami tasawuf.[27]
D. Pembagian Dan Ajaran Inti Tasawuf
Secara umum para ahli tasawuf membagi tasawuf menjadi 3 (Tiga) macam : tasawuf akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Ketiga jenis tasawuf tersebut pada prinsipnya mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama ingin “mendekatkan diri kepada Allah” dengan cara membersihkan diri dari perbuatan tercela dan menghiasinya dengan perbuatan terpuji. Namun ketiga jenis tasawuf tersebut mempunyai perbedaan dalam penerapan “pendekatan” yang di gunakan.[28]
Pendekatan-pendekatan dari masing-masing jenis tasawuf, sekaligus merupakan spesifikasi dan ajaran inti masing-masing jenis tasawuf tersebut. Para tasawuf yang bercorak akhlaki, pendekatan yang di gunakan adalah pendekatan “moral” ( teori-teori أخلاق الكريمة ) atau biasa di sebut pencerdasan emosi.
Untuk tasawuf yang bercorak falsafi, maka pendekatan yang di gunakan adalah pendekatan “rasio” memberdayakan akal pikiran yang biasa di sebut pencerdasan inteligen. Sedangkan tasawuf yang bercorak amali, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan “amaliah”, memperbanyak aktifitas yang bersifat rohani yang biasa disebut pencerdasan spiritual.
Ketiga bentuk corak tasawuf itu merupakan perwujudan untuk meng-Esakan Tuhan secara mutlak, dan itu berarti kita harus menyadari bahwa meng-Esakan dan memahami Tuhan tidak bisa di jangaku atau didekati hanya dengan rasio atau akal semata, tetapi memahami Tuhan harus dibantu dengan pendekatan moral atau emosi dan spiritual yang keduanya itu bertempat dalam hati sebagai tempatnya iman bersemayam.[29]
Berikut adalah ajaran inti tasawuf yang dikemukakan menurut pembagian tasawuf itu sendiri, yakni:
1. Tasawuf akhlaki
Taswuf Akhlaki ialah ajaran tasawuf yang berhubungan dengan pendidikan mental dan pembinaan serta pengembangan moral agar seseorang berbudi luhur atau berakhlak mulia. Dari pengertian tersebut, maka menurut pandangan orang-orang sufi yang menganut aliran tasawuf akhlaki sebagai berikut :
a. Bahwa satu-satunya cara untuk bisa mengantar seseorang agar bisa dekat dengan Allah SWT ., hanyalah dengan jalan “mensucikan jiwa”.
b. Bahwa untuk mencapai kesucian jiwa tersebut diperlukan “latihan mental” yaitu al-riyadhahyang ketat. Riyadhah tersebut wujudnya adalah “mengontrol” sikap dan tingkah laku secara ketat agar terbentuk pribadi yang berahklak mulia.
c. Bahwa latihan mental tersebut bertujuan untuk mengontrol dan mengendalikan nafsu, seperti godaan-godaan yang sifatnya duniawi.
d. Bahwa pengendalian nafsu di perlukan, sebab nafsu diabggap sebagai penghalang atau tabir antara manusia dengan Tuhan.
e. Bahwa untuk membuka tabir tersebut agar manusia dapat dekat dengan Allah SWT. Maka para sufi membuat suatu sistematika pendekatan takhalli (mengosongkan) dan tahalli (mengisi).[30]
2. Tasawuf Amali
Tasawuf amali yaitu ajaran tasawuf yang mementingkan pengalaman-pengalaman ibadah baik secara lahiriah maupun batiniah. Tasawuf amali di anggap oleh sebahagian sufi sebagai bagian dan lanjutan dari taswuf akhlaki. Menurut sufi yang menganutnya bahwa untuk dekat dengan Allah SWT. Maka seseorang harus menggunakan pendekatan amaliah dalam bentuk memperbanyak aktifitas, amalan lahir dan batin.[31]
Oleh karena itu menurut sufi, ajaran agama juga mengandung aspek lahiriah dan batiniah, maka cara memahami dan mengamalkannya juga harus melalui aspek lahir dan batin. Kedua aspek ini di bagi menjadi empat bagian.
a. Syariah yaitu undang-undang, aturan-aturan, hukum Tuhan , atau ketentuan tentag halal, haram, wajib dan sunnah hal ini menyangkut aspek lahiriah (eksoterik).
Syariah menurut sufi adalah amalan-amalan lahir yang fardukan dalam agama yang biasanya dikenal sebagai “rukun Islam” yang sumbernya dari Al-Qur’an dan sunnah. Amalan tersebut bukan hanya yang sifatnya wajib tetapi semua sunnah, yang di amalkan dengan penuh keikhlasan sehingga di tetapkanlah cara-caranya waktunya dan jumlahnya. Oleh karena itu, sufi ynag meninggalkan syariah dianggap sesat, sebab tanpa mengamalkan hukum Tuhan secara baik, dan tuntas lewat amalan ibadah berarti tidak tunduk pada aturan Allah.[32]
Syariat merupakan hakikat itu sendiri, dan hakikat tidak lain adalah syariat itu sendiri. Keduanya adalah satu, tidak akan sempurna satu sisi tanpa sisi yang lain. Allah SWT., telah menggabungkan keduanya, oleh karena itu suatu hal yang mustahil jika seseorang mau memisahkan sesuatu yang telah digabungkan oleh Allah SWT.[33]
b. Thariqah yaitu jalan, cara, metode. Thariqah menurut sufi ialah perjalanan menuju Allah, dan dalam perjalanan tersebut di tempuh melalui suatu cara, atau melalui suatu jalan agar dengan Tuhan. Sebab meurut sufi tanpa suatu cara atau metode khusus yang di sebut thariqah akan sulit sampai pada tujuan. Maka di tetapkanlah ketentuan yang sifatnya batiniah, dengan melalui cara, metode setahap demi setahap yang dikenal dengan istilah مقام.[34] .
Menurut sufi hidup ini penuh dengan rahasia, dan rahasia itu tertutup oleh tabir sebenarnya tabir itu adalah “hawa nafsu” kita sendiri. Tabir itu sebenarnya bisa tersingkap (terbuka) asal menempuh suatu cara (thariqah) lihat Al-Qur’an surah al-Jin ayat 16, yang artinya:
“dan bahwasanya : Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam). Benar-benar kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak) “[35]
Berdasarkan gambaran di atas, maka maqamat itu merupakan satu sistem atau metode untuk mengenal dan merasakan adanya Tuhan atau melihat Tuhan dengan mata hati.
c. Haqiqahdiartikan sebagai kebenaran. Haqiqah biasa juga diartikan puncak, atau sumber segala sesuatu. Haqiqah menurut sufi merupakan rahasia yang paling dalam dari segala amal, dan merupakan inti dari syariah. Haqiqahdi peroleh sebagai nikmat dan anugerah Tuhan berkat latihan yang dilakukan sufi. Dengan sampainya sufi ke tingkat haqiqah, berarti telah terbukalah baginya rahasia yang ada dalam syariah, maka sufi dapat memahami segala kebenaran. Atau dengan kata lain haqiqah adalah mengetahui inti yang paling penting dalam diri sesuatu sehingga tidak ada yang tersembunyi baginya.[36]
Haqiqah tidak bias terlepas dari syariah, dan bertalian erat dengan tariqah dan juga terdapat dalam ma’rifah. Dalam pandangan kaum sufi, makna hukum luar (syariah) harus utuh dan sinkron dengan makna hokum dalam (haqiqah), maka setiap manusia harus tunduk pada syariah sekaligus tunduk pada realitas sebelah dalam (tariqah dan haqiqah), sebab manusia sendiri berada diantara dua ruang yaitu ruang fisik dan ruang ruhani.[37]
d. Ma’rifah yaitu pengetahuan dan pengenalan. Sedangakan menurut kaum sufi berarti penghetahuan mengenai Tuhan melalui kalbu atau hati nurani. Pengertian tersebut sedemikian lengkapnya sehingga jiwa seorang sufi sudah merasa bersatu dengan yang diketahuinya. Dikatakan oleh para sufi, ma’rifahberarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari melihat Tuhan. Inilah sebagai tujuan utama dalam ilmu tasawuf.[38]
Melihat gambaran dari syari’ah, tariqah, haqiqah, dan ma’rifah, maka dapat dikatakan bahwa ma’rifah hanya bias dicapai bila melalui syari’ahdan ditempuh berdasarkan tariqah lalu bisa memperolah haqiqah. Apabila syari’ah dan tariqah ini sudah dikuasai maka timbullah haqiqahlalu tercapailah tujuan yang diinginkan oleh sufi yaitu ma’rifah.
Menurut kaum sufi pengalaman syariah Islam tidaklah sempurna jika tidak dikerjakan secara integrative dengan urutan-urutan sebagai berikut:
· Syari’ah merupakan peraturan
· Tariqah merupakan cara melakukan peraturan
· Haqiqah merupakan keadaan yang dirasakan setelah melaksanakan peraturan tersebut.
Bila seseorang telah menjalani tariqah yang seimbang dengan syariah lahir dan batin menuju pada puncak rahasia, maka tercapailah suatu kondisi mental yang dinamakan insan kamil atau waliyullah yaitu orang-orang yang selalu dekat dengan Allah SWT., dan mendapat karunia-Nya sehingga melakukan perbuatab-perbuatan luar biasa yang dinamakan al-karamah.[40]
3. Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi merupakan ajaran tasawuf yang memadukan antara visi mistis dengan visi rasional.[41]Tasawuf falsafi berbeda dengan tasawuf akhlaki dan amali. Sebab tasawuf falsafi menggunakan term filsafat dalam mengungkap ajarannya. Terminologi tersebut berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang mempengaruhi tokoh-tokoh sufi. Dengan adanya term-term filsafat dalam tasawuf ini menyebabkan bercampurnya ajaran filsafat dan ajaran-ajaran dari luar Islam seperti Yunani, India, Persia, Kristen dalam ajaran tasawuf Islam. Tetapi perlu diketahui bahwa orisinalitas tasawuf tetap ada dan tidak hilang. Sebab para sufi tersebut menjaga kemandirian ajarannya.[42]
Walaupun tasawuf falsafi banyak menggunakan term filsafat, namun tidak bisa dianggap sebagai filsafat. Sebab ajaran dan metodenya dipadukan pada rasa (zauq). Sebaliknya tidak dikategorikan sebagai tasawuf murni, sebab ajarannya sering diungkap dalam bahasa filsafat yang sering cendrung pada pantaisme.[43]
Contoh dari ajaran tasawuf yang bercorak filsafat antara lain seperti terlihat pada teori al-fana’, al-baqa’, dan al-ittihad dari Yazid Bustami, teori hulul dari Mansur al-Hallaj, dan teori wihdatul wujud dari Ibn Arabi.[44]
E. Maqamat dan Ahwal.
1. ﻣﻗﺎﻣﺎﺕ ( Maqamat )
Untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan, sufi memberikan suatu metode atau cara atau jalan. Jalan itu berisi stasiun yang disebut ﻣﻗﺎﻣﺎﺕ. Maqamat berasal dari bahasa Arab yang artinya tempat orang berdiri.[45]Selanjutnya istilah tersebut berkembang lebih jauh dengan arti tingkatan, atau tahapan, atau jalan panjang yang harus dilewati oleh sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah SWT. Tingkatan tersebut berupa atau berbentuk sikap hidup yang nampak kelihatan dan tercermin dalam perilaku akhlak yang mulia. Maqamat ini sebagai hasil dari mujahadah (kesungguhan) dan riyadah (latihan) berkesinambungnan yang dilaksanakannya serta putusnya hubungan dengan selain Allah. [46]
Berdasarkan defenisi di atas, dapat dikemukakan bahwa maqamat merupakan suatu tingkatan, tahapan yang dicapai oleh sufi dari usahanya yang keras dan sungguh-sungguh serta perjuangannya terus menerus dalam rangka mendekatan diri kepada Allah SWT.
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul perbedaan pendapat di kalangan sufi bahwa referensi tentang jumlah maqamattidak selamanya sama. Nampaknya perbedaan tersebut berfariasi baik segi jumlah maupun formasi maqamat itu. Berikut penulis paparkan pendapat beberapa ulama:
Menurut Abu Bakar al-Kalabazi ada sepuluh maqatat dengan formasi sebagai berikut: Taubat, Zuhud, Sabar, Fakir, Tawadu’, Takwa, Tawakkal, Ridha, Mahabbah dan Ma’rifat. Sedang Menurut al-Gazali ada delapan bentuk maqamat: Taubat, Sabar, Fakir, Zuhud, Tawakkal, Mahabbah, Ridha, dan Ma’rifat.[47]
Berbeda dengan dua pendapat sebelumnya, Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi berpendapat bahwa maqamat hanya ada tujuh macam yaitu: Taubat, Wara’,Zuhud, Fakir, Sabar, Tawakkal dan Ridha. Sedangklan menurut Abu. Qasim Abd. Karim maqamat hanya ada enam yaitu: Taubat, Wara’, Zuhud, Tawakkal, Sabar, dan Ridha.[48]
Kendati ada perbedaan ulama tentang jumlah formulasi maqamat, tetap ada tingkatan yang sama disepakati dan mesti ada sebagai unsur dari maqamat tersebut, sebagai mana yang disebutkan oleh Harun Nasution bahwa ada lima tingkatan yang populer dan diterima secara umum yaitu: Taubat, Zuhud, Sabar,Tawakkal dan Ridha.[49] Berikut penjelasan singkat kelima macam maqamat tersebut:
1. ﺍﻟﺗﻭﺑﺔ ( taubah ) ialah meninggalkan keinginan untuk kembali melakukan kejahatan seperti yang telah pernah dilakukannya karena rasa takut akan kebesaran Allah SWT., dan menjauhkan diri dari kemurkaannya. Para sufi berpendapat bahwa taubat adalah maqamat pertama.[50]Mengingat bahwa taubat merupakan metode atau cara untuk mengikis semua sifat yang jelek. Menurut para sufi, dosa itu adalah pemisah antara manusia dengan Allah, sebab dosa itu adalah sesuatu yang kotor sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai orang yang senantiasa mensucikan dirinya dari dosa dengan cara bertaubat. Inilah stasiun pertama yang harus dilewati oleh para sufi.
2. ﺍﻟﺯﻫﺩ ( zuhud ) diartikan sebagai keadaan meninggalkan dunia dan menjauhkan diri dari hidup kebendaan.[51] Namun al-Gazali mengartikan zuhudsebagai sikap mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran. Sedangkan al-Qusyaeri menyebut zuhud yaitu tidak merasa bangga dengan kehidupan dunia yang telah ada di tangan dan tidak merasa bersedih dengan hilangnya kemewahan dari tangannya.[52]Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa zuhud intinya adalah mengurangi keinginan terhadap kenikmatan dunia supaya dapat membawa kekhusyuan mengabdi dan dekat dengan Allah SWT.
3 ﺍﻟﺻﺑﺮ ( sabar ), secara harfiah berarti menahan. Menurut al-Gazali sabar adalah sebuah kondisi mental dalam mengendalikan hawa nafsu yang tumbuhnya adalah atas dorongan agama. Sabar yang dimaksud para sufi adalah konsekwen dan konsisten dalam melaksanakan perintah Allah dan meniggalkan larangnannya, tahan uji mengahdapi kesulitan dan cobaan yang ditimpakan kepadanya.[53]
4. ﺍﻟﺗﻭﻛﻞ ( tawakkal ). Pengertian tawakkal secara umum adalah sikap pasrah secara total setelah melaksanakan suatu usaha. Tawakkal juga berarti berpasrah diri sepenuhnya kepada Allah SWT dalam menghadapi atau menunggu pekerjaan. Menurut sufi tawakkal tidak cukup hanya sekedar penyerahan diri seperti itu, tetapi lebih mendalam lagi dengan merefleksikannya melalui sikap dan tindakan dalam segala hal.[54]
5. ﺍﻟﺮﺿﺎ ( Ridha ), secara harfiah ridha artinya rela. Sementara menurut Harun Nasution ridha berarti menerima qadha dan qadar Tuhan dengan senang hati. Untuk itu, semua perasaan benci di dalam hati harus dibuang jauh-jauh sehingga yang tersisa ialah perasaan senang dan gembira walaupun ditimpa mala petaka ia tetap senang dan ridha menerimanya sebagaimana ketika ia mendapat rahmat dan nikmat.[55]
Sebagai tambahan bahwa term maqamat muncul sebagai suatu istilah dalam tasawuf pada abad III dan IV H. dan yang dianggap pelopornya antara lain Haris al-Muhasibi (165-234 H / 781-857 M), dipandang sebagai orang pertama yang membahas maqamat. Selain itu juga dikenal Abu Said al-Kharaz (227H) dan Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al-Anshari (al-Harawi) (361-481H).[56]
2. ﺍﻷﺣﻭﺍﻞ ( Ahwal )
Selain maqamat, dalam tasawuf juga dikenal istilah ahwal. Ahwal merupakan keadaan mental, seperti keadaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya.[57] Ahwal Juga diartikan sebagai keadaan mental atau situasi kejiwaan yang diperoleh sufi sebagai karunia dari Allah SWT. Ahwal sebenarnya manifestasi dari maqamat yang dilalui oleh sufi sehingga ahwal sangat sulit untuk dilukiskan secara informatif dan dideteksi secara logis, sebab ia termasuk pengalaman rohani yang hanya diketahui oleh sufi yang yang pernah mengalaminya. Karena itu ahwal sangat bersifat subjektif dan personal.[58]
Dalam tasawuf kemudian dikenal bermacam ahwal. Berikut penjelasannya:
1. ﺍﻟﺧﻭﻑ : merupakan sikap mental dengan merasakan ketakutan pada Allah SWT, karena kurang sempurna pengabdiannya dan atas kesalahan yang telah diperbuat. Takut dan khawatir jika Allah SWT tidak senang padanya. Oleh karena itu, sufi selalu berusaha agar perilakunya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah SWT. Sikap seperti ini memberikan motivasi untuk berbuat baik dan mendorong untuk menjauhi maksiat.[59]
2. ﺍﻟﺮﺟﺎﺀ : merupakan sikap mental yang optimis dalam memperoleh karunia Ilahi. Allah yang maha pengampun dan penyayang, maka sufi penuh ‘harap’ memperolah ampunan dan limpahan rahmat. Sikap raja ini akan memberi semangat dalam riyadhah dan mujahadah sehingga dengan penuh gairah menanti harapan datangnya rahmat Allah SWT.[60]
3. ﺍﻟﺷﻭﻖ : Kondisi kejiwaan yang dirasakan oleh sufi untuk ingin bertemu dengan Tuhannya. Hasratnya bergelora untuk selalu bersama dengan yang dikasihi. Dalam hal ini, pengetahun, pemahaman, pengenalan yang sempurna dan mendalam pada Allah SWT, menimbulkan rasa senang yang luar biasa dan bergairah yang melahirkan cinta dan obsesi yang kuat untuk bertemu dengan Yang dicintai.[61]
4. ﺍﻷﻧﺲ : yaitu kedaan jiwa yang sepenuhnya terfookus kepda Alah SWT. Tidak merasa tidak mengingat dan tidak mengharap kecuali kepada Alah SWT.[62]
Dari penjelasan di atas, maka ddapat diketahui bahwa ahwal itu sebagai kondisi mental yang sedang dirasakan dan dinikmati secara damai dan intensif oleh sufi. Selanjutnya dapat diketahui bahwa jalan yang harus ditempuh oleh sufi untuk mencapai tujuan memperoleh hubungan batin dan “bersatu” dengan Tuhan bukanlah sesuatu cara yang mudah.
Maqamat dan ahwal memiliki perbedaan dalam konsep dan penrapannya. Maqamat diperoleh melalui usaha yang berat dan keadaan atau kondisinya tetap bersifat stabil dan tidak berubah. Seperti kesabarnnya menerima cobaan sama saja ketika menerima nikmat. Sikap hidupnya dapat dilihat dari prilaku keseharian sufi seperti kesabaran, tawakkal, suzud dan kerrelaan. Sementara ahwal diperoleh sebagai suatu anugrah, rahmat (bukan unsur usaha dan perjuangan), keadannya bersifat labil dan tidak tetap, mudah berubah, (kadang merasa sedih, kadang senang). Kondisi mental yang dirasakan bersifat abstrak (tidak bisa dilihat orang lain), dan hanya bisa dirasakan dan dipahami serta diketahui oleh orang yang mengalaminya.
Walaupun keduanya mempunyai perbedaan, namun keduanya sangat berkaitan. Karena keduanya mempunyai dua sisi yang sama dan sulit dipisahkan. Hal ini disebabkan makin tinggi tingkat maqamat yang dicapai oleh seorang sufi, maka semakin intens pula ahwal yang diperolehnya dan dirasakannya.
BAB III
KESIMPULAN
Demikianlah penjelasan singkat mengenai tasawwuf sebagaimana terpaparkan diatas. Dan sebagai akhir dari pembahasan bisa di tarik kesimpulan diantaranya:
1. Tasawuf pada umumnya merupakan usah untuk melaksanakan ajaran agama Islam secara murni dengan maksud untuk mendekatkan dirai kepada Allah SWT. dengan cara menempuh kehidupan zuhud, menghindari gemerlap kehidupan dunia, rela hidup dalam keprihatinan, melakukan berbagai jenis amalan ibadah, melaparkan diri, mengerjakan shalat malam, dan melakukan berbagai jenis wirid sampai fisik atau dimensi jasmani seseorang menjadi lemah dan dimensi jiwa atau ruhani menjadi kuat.
2. Embrio munculnya praktek sufi dan ajaran tasawuf dalam Islam telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah SAW. dan para sahabatnya. Dan menjadi sebuah gerakan yang terperinsip dan menjadi sebuah cabang keilmuan pada akhir abad ke II Hijriyah.
3. a. Inti ajaran tasawuf terperinci kedalam pembagian tasawuf itu sendiri yaitu: tasawuf akhlaqi, tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Diantara ajaran pokok tasawuf amali yaitu: syari’ah, tariqah, haqiqah dan ma’rifah.
b. Maqamat berarti tingkatan, atau tahapan, atau jalan panjang yang harus dilewati oleh sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah SWT. Tingkatan tersebut berupa atau berbentuk sikap hidup yang nampak kelihatan dan tercermin dalam perilaku akhlak yang mulia. Dan Ahwaldiartikan sebagai keadaan mental atau situasi kejiwaan yang diperoleh sufi sebagai karunia dari Allah SWT. Ahwal sebenarnya manifestasi dari maqamat yang dilalui oleh sufi sehingga ahwal sangat sulit untuk dilukiskan secara informatif dan dideteksi secara logis, sebab ia termasuk pengalaman rohani yang hanya diketahui oleh sufi yang yang pernah mengalaminya.
DAFTAR PUSTAKA
Asmaran AS, Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemahnya, 1978
Haeri, Fadhalalla, Jenjang-Jenjang Sufisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000
Hamka, Tasawuf Dari Masa ke Masa, Jakarta: Pustaka Islam, 1960
Hilal, Ibrahim, Al-Thasawwuf al-Islami Bain ad-Din wa al-Falsafah, terj. Ija Suntana dan E. Kusdian, Tasawuf Antara Agama dan Filsafat Sebuah Kritik Metodologis, (Cet. I; Bandung Pustaka Hidayah, 2002)
Ibrahim, Muhammd Zaki, Abjadiyyah al-Tashawwuf al-Islam, terj. Abdul Syukur dan Rivai Usman, Tasawuf Salafi, (Cet. I; JAkarta: Hikmah, 2002)
Kalsum, Ummu, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002)
Mahmud, Abdul Halim, Tasawuf di Dunia Islam, (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2002)
Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Bahasa Arab Indonesia Lengkap,(Cet. XIV; Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997)
Mustafa , H. A., Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1997
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996
Rondon, Tashawwuf dan Aliran Kebatinan: Suatu Perbandingan antara Aspek-Aspek Mistik Jawa, (Cet. II; Yogyakarta: LESFI, 1995)
Siregar, H. A. Rivay, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, jilid 5, 1993
Valiuddin, Mir. Tasawuf Dalam Qur’an, (Cet. II; Jakarta:Pustaka Firdaus, 1993)
[1]Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawwir Bahasa Arab Indonesia Lengkap,(Cet. XIV; Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), h. 784
[2]Mir. Valiuddin, Tasawuf Dalam Qur’an, (Cet. II; Jakarta:Pustaka Firdaus, 1993), h. 1
[3]Ahmad Warson Munawir op. cit., h. 783
[4]Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002), h. 3
[5] Ibid.
[6]Ummu Kalsum, loc. cit.
[7]Abdul Halim Mahmud, Tasawuf di Dunia Islam, (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 16
[8]Mir. Valiuddin, op. cit., h. 3
[9] Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, jilid 5, 1993, h. 74.
[10] Ibid. h. 75.
[11] H. A. Mustafa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1997, h. 207.
[12]Ibrahim Hilal, Al-Thasawwuf al-Islami Bain ad-Din wa al-Falsafah, terj. Ija Suntana dan E. Kusdian, Tasawuf Antara Agama dan Filsafat Sebuah Kritik Metodologis, (Cet. I; Bandung Pustaka Hidayah, 2002), h. 19
[13] H. A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 36
[14] Ibid.h. 37
[15]Ummu Kalsum, op. cit. h.30.
[16] Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, op. cit., h. 127.
[17] Ibid.h. 141
[18]Ummu Kalsum, op. cit. h. 31
[19] Ibid..
[20]Hamka, Tasawuf Dari Masa ke Masa, Jakarta: Pustaka Islam, 1960, h. 61
[21]Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992, h. 256.
[22]Ummu Kalsum, op. cit., h. 34
[23]Muhammd Zaki Ibrahim, Abjadiyyah al-Tashawwuf al-Islam, terj. Abdul Syukur dan Rivai Usman, Tasawuf Salafi, (Cet. I; JAkarta: Hikmah, 2002), h. 23.
[24]Rondon, Tashawwuf dan Aliran Kebatinan: Suatu Perbandingan antara Aspek-Aspek Mistik Jawa, (Cet. II; Yogyakarta: LESFI, 1995), h. 15
[25]Ummu Kalsum, op. cit., 36.
[26] Ibid.
[27] Ibid, h. 45.
[28]Asmaran AS, Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994, h. 46
[29] H. A. Rivay Siregar, op. cit., h. 52.
[30]Ummu Kalsum, op. cit., h. 47-48.
[31] Ibid.h. 53
[32]Muhammd Zaki Ibrahim, op. cit., h. 145.
[34]Ummu Kalsum, op. cit., h. 54.
[35]Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemahnya, 1978, h. 985
[36]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, h. 55.
[37]Fadhalalla Haeri, Jenjang-Jenjang Sufisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000, h. 97.
[38]Ummu Kalsum, op. cit., h. 56
[40] Ibid.
[41]Hamka, op. cit., h. 102.
[42]Asmaran AS, op. cit., h. 194
[44]Ummu Kalsum, op. cit., h. 60
[45]Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 1175.
[46]Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, h. 62
[47]Ummu Kalsum, op. cit., 62
[48] Ibid.
[49]Harun Nasution, op. cit., h. 102.
[50]Ummu Kalsum, op. cit., h. 64.
[51] Ibid. h. 65
[52]Asmaran AS. op. cit., h. 113
[53]Harun Nasution, op. cit., h. 68
[54] Ibid.
[55] Ibid.
[56]Ummu Kalsum. op. cit., h. 70
[57]Harun Nasution, op. cit., h 63
[58]Ummu Kalsum. op. cit., h. 71
[59] Ibid. h. 71
[60]Harun Nasution, op. cit., h. 73
[61] Ibid. h. 75
[62]Ummu Kalsum, loc. cit.
Demikianlah Artikel MAKALAH TASAWUF
Sekianlah artikel MAKALAH TASAWUF kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel MAKALAH TASAWUF dengan alamat link https://macam2-artikel.blogspot.com/2015/12/makalah-tasawuf.html
0 komentar:
Post a Comment